Pemuda Kesayangan Rasulullah

Dengan takbir Allah Akbar, Rasulullah dan para sahabatnya beserta seluruh pasukan Muslimin memasuki Kota Makkah dengan penuh keharuan dan kegembiraan karena kemenangan yang baru dicapai.


Rasulullah berjalan bersama Usamah bin Zaid bin Haritsah di sebelah kirinya, sedang Bilal bin Rabah berada di sebelah kanannya.


Rasulullah sengaja menempatkan kedua orang ini sebagi suatu jawaban sekaligus proklamasi kepada para penduduk Makkah akan berakhirnya perbedaan sosial dan warna kulit. Hanya ketaatan kepada Allah-lah yang membedakan seseorang dengan lainnya.


Siapakah Bilal bin Rabah dan Usamah itu? Bilal bin Rabah adalah bekas budak Umayyah bin Khalaf dan Usamah adalah anak hasil perkawinan Zaid bin Haritsah seorang hasby berkulit hitam dengan Ummu Aiman, bekas hamba sahaya dan pengasuh Rasulullah.


“Usamah adalah orang yang paling saya cintai, sebagimana saya mencintai ayahnya,” kata Rasulullah. Begitu cintanya Rasulullah kepada ayah Usamah, sampai orang menyebutnya ”Zaid bin Muhammad”. Namun sebutan ini ditegur oleh Allah lewat Surat Al Ahzab.


Begitu bangganya Rasulullah kepada Usamah, dalam usia dua puluh tahun pemuda itu telah diangkat sebagai Panglima Perang untuk memimpin 700 tentara Islam menyerbu Syiria.


Mengemban perintah langsung Rasulullah, Panglima Perang Usamah berangkat menuju Syiria menghadapi pasukan Romawi di bawah pimpinan Raja Heraclius.


Sebagai seorang panglima muda yang masih berusia dua puluh tahun, anak seorang budak. Wajarlah jika pengangkatannya menimbulkan pro dan kontra. Protes yang diterima Rasulullah dari para sahabat senior, termasuk Umar bin Khattab.


“Sebelum ini mereka juga tidak menyetujui ayahnya menjadi panglima, padahal Zaid cukup layak menjadi panglima sebagimana anaknya yang juga layak untuk jabatan itu. Ia adalah orang yang paling saya kasihi setelah ayahnya. Dan saya berharap ia termasuk salah seorang yang utama diantara kalian. Maka bantulah dia dengan memberikan nasihat yang baik,” kata Rasulullah meredam protes para sahabat.


Usamah bin Zaid menyadari situasi itu, namun perintah Rasulullah adalah sebuah amanat yang harus dilaksanakan. Dengan 700 pasukannya ia berangkat menuju Syiria. Ketika beberapa kilometer di sebelah utara Kota Madinah, usamah bersama pasukannya beristirahat, tiba-tiba terdengar berita duka, Rasulullah wafat.


“Pengiriman pasukan ke Syiria harus ditunda. Sangat tidak layak dalam suasana duka tetap mengirim pasukan tentara. Usamah adalah anak kesayangan Rasulullah, beri kesempatan dia untuk memberi penghormatan terakhir, “ kata Umar bin Khattab.


Para sahabat banyak yang menyetujui pendapat Umar, namun tidak demikian dengan pendapat Abu Bakar yang baru saja dibaiat sebagai Khalifah.


“Pesan Rasulullah menjelang wafatnya, teruskan pengiriman Usamah. Ini amanat yang tidak bisa ditawar lagi dan harus dilaksanakan,” kata Abu Bakar.


“Menjaga Madinah lebih penting daripada menyerang ke luar,” sahut Umar bin Khattab.


“Demi Allah meskipun aku akan dikeroyok srigala, aku akan tetap akan melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah. Dan aku tidak sekali-kali akan melanggar putusan yang telah ditetapkannya,” jawab Abu Bakar tegas.


Kemudian ditemuinya Usamah di perkemahannya yang saat itu sedang menaiki kuda putihnya yang gesit dan gagah. Begitu melihat kehadiran Khalifah Abu Bakar, Usamah langsung meloncat turun dari kuda untuk menjemputnya, namun Khalifah mencegahnya.


“Teruskan tugasmu sesuai perintah Rasulullah. Dan izinkan aku tinggal di Madinah bersama Umar untuk urusan sepeninggal Rasulullah,” kata Khalifah Abu Bakar menghormati Usamah selaku panglima.


Dengan perasaan galau karena berpisah dengan Rasulullah, Usamah meninggalkan Madinah bersama pasukannya menuju Syiria untuk melaksanakan amanah Rasulullah. Pertempuran itu berlangsung selama empat puluh hari dengan kemenangan di pihak Usamah dan pasukannya.


“Tanpa Muhammad, panglimanya mampu membawahi pasukan segigih itu, apalagi ketika masih bersama pimpinannya yang dulu,” kata Heraclius yang kagum melihat semangat pasukan Muslimin.


Keberanian Usamah di medan perang sangat mengagumkan, ia mirip ayahnya, Zaid bin Haritsah.

Di saat Rasulullah masih hidup, kemenangan demi kemenangan dicapai Usamah di medan perang. Diceritakan pengalaman-pengalamannya, termasuk kematian seorang lawan yang sebelumnya banyak menewaskan pasukan Muslimin.


Usamah berhasil menangkap lawan itu. Dalam keadaan terpepet dengan pedang masih dalam genggamannya, tiba-tiba musuhnya itu mengucapkan kalimat syahadat. Namun Usamah tetap mengayunkan  pedangnya dan menebasnya hingga ia tewas.


Saat itu Rasulullah benar-benar marah. “Mengapa kau bunuh juga orang yang telah mengucapkan kalimat Laa ilaha ilallah?” tanya Beliau.


Rasulullah sangat menjunjung tinggi kalimat tauhid, sehingga tidak menghalalkan darah seseorang yang telah mengucapkan kalimat syahadat. Terlepas apakah itu diucapkan dari lubuk hatinya atau Cuma sekedar lisannya saja, seperti yang dilakukan orang kafir yang dibunuh Usamah itu.


Peristiwa itu sangat membekas di hati Usamah. Ia merasa sangat menyesal sekali, yang tak mungkin dilupakan seumur hidupnya. Karena itulah ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib memintanya maju ke medan perang menghadapi Muawiyah, Gubernur Negeri Syam, Usamah menolaknya.


Ali bin Abi Thalib, sebagai Khalifah ingin menggantikan Muawiyah sebagai Gubernur Syam dengan Suhail bin Hunaif. Namun Muawiyah menolak hingga terjadi perselisihan dan berkembang menjadi peperangan sesama pasukan Muslim. Celakanya, perselisihan itu melibatkan Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaillah yang menuntut balas kepada Ali atas kematian Khalifah Ustman bin Affan.


Khalifah Ali kemudian minta bantuan kepada Usamah, yang tak mungkin mengabulkannya. Usamah masih diliputi perasaan trauma sejak membunuh orang kafir yang mengucapkan syahadat di medan perang waktu dulu, ia tak mungkin bisa melupakannya.


“Wahai Khalifah Ali, seandainya aku harus menyertai Anda sampai ke mulut singa sekalipun, aku akan tetap setia. Tetapi urusan ini, maaf sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya,” kata Usamah menolak permintaan Ali. Dan Khalifah Ali pun sangat memahami dan menyadari sikap Usamah itu.