" Merindukan nenek"
Di penghujung maret ini aku dan keramaian berjalan beriringan lalu saling melepaskan. Ia mengambil langkah jauh ke depan. Aku diam terpaku menatapnya dengan sendu.
Pikiran tentang dunia merangsek di kepalaku yang tak berpenjaga
Sekalinya, kacau meluas ke segala sisi.
Kulihat langit dari balik jendela kamar yang perlahan mengaburkan bintang-bintang. Sambil menelisik dunia dari balik layar handphone yg tak menghadirkan kedamaian sama sekali. Ini saja cukup membuatku sadar bahwa Tuhan sedang tidak membuatku baik-baik saja dalam ini dan itu.
Dan ia tak ubahnya langit gelap dari balik jendela kamar yg absurd.
Senyum-senyum palsu dan perasaan yang tak abadi menghampar seperti gambar hitam putih dari film layar tancap.
Sore ini aku ke alun-alun kota membeli satu porsi gado-gado. Kumpulan beberapa jenis sayur disiram sambal kacang yg kalau nenekku menyebutnya sebagai makanan kuda. Nenekku yang lahir menjelang proklamasi ini memang sederhana. Tapi diusianya yg senja ia masih lihai melantunkan syair dan pantun. Dan aku menjulukinya sebagai penyair ulung.
Ingatan tentang kebahagiaan saat ia melahap seporsi gado-gado itu selalu berhasil menghadirkan senyum. Karena yang ia sebut sebagai "makanan kuda" itupun menjadi makanan favoritnya.
Aku bersyukur, karena masih tersisa kenyataan manis yang polos itu di galeri kepalaku yang berisi kumpulan foto-foto gimik.
Semoga kau bahagia di alam penantian sana, Nek. Cucumu merindu yang teramat.(219)