Asal usul Barongsai
Pada zaman dahulu, di Cina ada banyak desa. Setiap tahun selama musim semi, orang-orang desa sibuk menanam padi. Pada musim gugur, mereka memanen padi. Hasil padi itu disimpan dalam lumbung sebagai persiapan menghadapi musim dingin.
Setiap kali musim dingin tiba, penduduk desa merasa sangat cemas. Mereka takut makhluk aneh akan datang ke desa mereka. Makhluk itu sangat mengerikan. Di kepalanya ada lima tanduk tajam. Sepasang matanya menyorot tajam. Gigi dan kukunya juga tajam. Makhluk ini sangat kuat. Kalau dia berjalan, bukit-bukit dan rumah-rumah roboh diinjaknya. Lebih gawat lagi, dia suka menangkap dan memakan manusia.
Orang-orang desa memperhatikan bahwa makhluk itu hanya muncul setahun sekali. Dia datang pada malam tahun baru dan menghilang tepat pada tengah malam. Orang-orang desa menyebut makhluk itu Nian, yang artinya tahun.
Pada malam tahun baru, semua orang desa mengunci diri di rumah. Mereka berdoa semoga mereka selamat dari serangan Nian. Ketika tahun baru tiba, barulah mereka berani keluar rumah. Mereka yang lolos dari maut merasa sangat bersyukur dan saling mengucapkan, “Gong Xi! Gong Xi! Selamat! Selamat!”
Orang-orang desa mengadakan perayaan selama lima belas hari. Setelah itu mereka mulai bekerja dan menanam padi lagi. Sepanjang tahun mereka sibuk tapi ketika tahun baru hampir tiba, mereka kembali dicekam ketakutan. Setelah bertahun-tahun menjadi sasaran Nian, orang-orang desa tak tahan lagi. Mereka berkumpul untuk mencari jalan keluar.
Mereka ingin mengusir Nian selama-lamanya dari desa mereka. Tapi bagaimana caranya? Ada yang mengusulkan agar Nian dibunuh saja. Tapi usul itu ditolak oleh orang-orang yang menganggap Nian sebagai utusan Tuhan. Mereka takut Tuhan marah jika makhluk itu dibunuh. Orang-orang desa itu jadi kebingungan. Mereka tak dapat mencapai kata sepakat.
Beruntung ada Guru Zhao, cendekiawan di desa itu. Guru Zhao dengan tegas mengatakan bahwa Nian adalah makhluk jahat, bukan utusan Tuhan. “Tuhan memberkati dan melindungi kita. Dia tak mungkin mengirim makhluk seperti Nian untuk membunuh kita,” Guru Zhao menjelaskan.
“Guru Zhao benar,” orang-orang desa setuju.
“Supaya bisa mengusir Nian,” ujar Guru Zhao, “kita harus mencari tahu, apa yang ditakutinya?” Semua orang berpikir keras.
“Aku bertemu Nian tahun lalu,” kata pria berjubah biru. “Tapi dia tidak menyerangku karena aku mengenakan ikat pinggang merah.”
“Pengalamanku lain lagi,” cerita pria berjubah coklat. “Tahun lalu aku menyalakan petasan. Nian rupanya takut mendengar bunyinya, lalu dia kabur.”
“Kurasa Nian takut pada benda apa pun yang berwarna merah,” tambah pria lain. “Dua tahun lalu aku memasang lampion dan kain merah di atas pintu rumahku. Tapi dia menghancurkan rumah-rumah tetanggaku yang tidak dilindungi lampion dan kain merah.”
Seorang pemuda berkata, “Aku dan teman-temanku menari barongsai pada malam tahun baru. Ketika melihat Nian, kami memukul-mukul gong dan tambur dengan lebih keras. Nian ketakutan dan lari ke hutan.”
“Sekarang kita tahu apa saja yang ditakuti Nian,” kata Guru Zhao. “Nian takut pada benda-benda berwarna merah, petasan dan bunyi gong serta tambur. Jadi mulai sekarang, menjelang tahun bari setiap rumah harus memasang lampion dan kain merah. Juga menyediakan petasan. Sementara para pemuda bersiap-siap mengusir Nian dengan tarian barongsai.”
Orang-orang desa itu pulang dan bersiap-siap. Para ibu membuat ikat pinggang merah untuk seluruh anggota keluarga mereka. Para ayah memasang lampion dan kain merah di atas pintu rumah mereka. Para pemuda membentuk kelompok-kelompok barongsai dan berlatih memukul gong serta tambur.
Malam tahun baru tiba. Semua orang sangat bersemangat. Mereka memakai ikat kepala atau ikat pinggang merah. Bapak-bapak membawa senjata seperti pedang, tombak, busur dan anak panah. Anak-anak membawa petasan. Mereka semua sudah siap untuk mengusir Nian. Sekarang orang-orang desa itu tak takut lagi pada Nian. Mereka bertekad untuk melawannya.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba. Nian datang. Orang-orang desa segera menyalakan petasan. Semuanya meledak dengan bunyi yang memekakkan telinga. Gong dan tambur dipukul keras-keras. Pedang dihunus dan tombak siap ditikamkan.
Nian sama sekali tak menduga dirinya akan diserang secara mendadak begitu. Dia mengerang kesakitan ketika pedang dan tombak bertubi-tubi menghujam tubuhnya. Lebih-lebih ketika hujan anak panah menerpanya. Dengan ketakutan dia berlari pulang ke tempat asalnya.
Orang-orang desa sengat gembira. Mereka bernyanyi dan menari sepanjang malam. Gong dan tambur ditabuh tak henti-hentinya. “Gong Xi! Gong Xi!” mereka saling memberi selamat dengan penuh sukacita.
Sejak itu, setiap tahun baru orang-orang Cina menghiasi rumah mereka dengan lampion dan kain merah. Mereka juga merayakan tahun baru dengan tarian barongsai dan petasan.