Alangkah Mirisnya Negeriku.

Artikel berikut adalah tulisan  Guru SD Negeri 13 Kolo Kota Bima, Haninaturrahmah, S.Pd.

Jum'at,24 Maret 2023

“Dan hendaklah ada segolongan umat diantara kalian yang menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali- Imran: 104)"

Kaum pelajar merupakan entitas sosial yang sangat potensial untuk menciptakan rekayasa budaya. Eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat sangat diistimewakan. Untuk itu kita selalu menempatkan kaum pelajar sebagai ujung tombak pembangunan suatu bangsa.

Dengan menitik-beratkan perubahan pada kaum pelajar, maka aspek yang menjadi fokusan adalah dunia pendidikan. Pendidikan merupakan aspek fundamental dalam masyarakat, terutama dalam mencokol kebudayaan. Kebudayaan adalah buah dari pendidikan. Untuk itu agar dapat menciptakan kebudayaan sesuai dengan yang dicita-citakan tak elok jika harus menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan kelas ketiga setelah ekonomi dan perang kepentingan (politik).

Pendidikan menurut Syaikh Naquib Al-Attas adalah “usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dan segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah  pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian”. Sedangkan menurut terminologi UU SISDIKNAS Indonesia pendidikan adalah “upaya menciptakan kondisi dan suasana yang dapat mengantarkan peserta didik pada pengenalan dan pengembangan potensi dan jati diri yang sesuai dengan fitrahnya.” Potensi dan jati diri yang dimaksud adalah kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan bangsanya.

Dari dua pengertian tentang pendidikan di atas, maka selayaknya kita berpikir bahwa amanah pendidikan merupakan amanah terhadap Tuhan dan sejarah. Dengan memberi perhatian pada dunia pendidikan sama halnya kita telah mmengemban amanah mengembalikan manusia pada fitrah dan eksistensinya sebagai entitas kosmos.

Sebagai entitas kosmos, manusia yang disebut pelajar lahir dari social comunity yang membawa serta nilai kearifan lokal tertentu. Kearifan lokal tersebut merupakan buah dari asimilasi nilai-nilai yang berkembang, yang berasal dari agama (believe) dan pergaulan manusia yang berlangsung lama, sehingga menjadi character identity sebuah komunitas tertentu.

Kearifan lolak sendiri dalam pengertiannya adalah suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup (Kemendikbud, 2016). Komunitas masyarakat yang maju  adalah komunitas yang mampu mempertahankan kearifan lokalnya sebagai identitas bangsa dan berselancar di atas arus perubahan global tanpa harus menanggalkannya.

Hal yang menjadi pertanyaan bersama adalah sudah seberapa jauh kaum pelajar peka terhadap kearifan lokalnya dan menganggap penting hal tersebut sehingga memiliki skill the power of change and the power of develop  sehingga mampu menciptakan inovasi-inovasi untuk masa depan bangsa yang berkemajuan.

Kearifan lokal adalah sebuah nilai yang tersistem di dalam lingkungan yang merupakan buah dari kebijakan-kebijakan besar yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dalam mewujudkan kemajuan kehidupan bangsa serta peran aktif masyarakat yang linear dengan program-program tersebut.

Saat membaca laporan PISA 2015- program yang mengurutkan system pendidikan di 72 negara- Indonesia masuk dalam peringkat 62 setelah dua tahun sebelumnya menduduki peringkat 71 tidaklah mengeherankan, karena kualitas pendidikan adalah hasil dari cerminan budaya yang ada.

Dalam menganalisa capaian pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dapat direfleksikan dengan melihat fenomena sosial yang berkembang. Misalnya dengan maraknya program literasi, komunitas dan lapak-lapak baca yang akhir-akhir ini sudah seperti jamur bermunculan untuk menjawab kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang bahkan tidak mampu diakomodir oleh gadget adalah bukti dari betapa gagalnya pemerintah dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan ilmu, sehingga masyarakat mengambil alternatif lain dengan mengambil jalan pintas demikian.

Saat membandingkan kualitas pendidikan Negara Indonesia bagian Tengah dan Timur misalnya, kita tidak perlu membandingkan secara statistik angka putus sekolah dan yang melanjut ke perguruan tinggi atau berapa rata-rata nilai UN siswa tiap tahunnya. Cukup dengan menilai secara kasat mata seberapa antusias kepala pemerintah daerah dalam mendorong kemajuan pendidikan di daerahnya masing-masing dengan cara mengaktifkan seluruh lembaga-lembaga yang ada (tidak hanya lembaga formal pendidikan) untuk mendukung kebutuhan pendidikan sehingga terciptalah integrasi system pemerintahan yang mencerdaskan sebagaimana yang dicita-citakan.

Betapa mirisnya saya sebagai bangsa Indonesia yang menyandang gelar sebagai guru di salah satu sekolah dasar di Kota Bima saat ingin mengajak siswa-siswa  melakukan study banding di Dinas Kehutanan dan Peternakan, tapi ditolak lantaran tidak ada layanan untuk pembelajaran siswa-siswa, atau betapa sangsinya saya saat mengajak siswa-siswi melakukan study wisata di Museum tapi ternyata koleksi museum banyak yang hilang bahkan disumbangkan ke museum-museum Provinsi dan Nasional, dan bahkan lebih mirisnya bagaimana bisa sebuah Musium tidak memiliki pojok baca dan tidak pernah diadakan sekedar pameran budaya dan sejarah untuk generasi muda. Lalu yang menjadi pertanyaan apa fungsi sesungguhnya dari dinas-dinas tersebut di masyakat?, bagaimana kita akan mengembalikan pendidikan pada tujuan yang semestinya kalau teryata pemerintah tidak punya kesadaran kosmos?

Mengapa harus kesadaran kosmos? Karena hanya manusia yang punya nilai-nilai ke-semesta-an-lah yang sadar betul akan tugas dan fungsinya sebagai manusia yang utuh. Terutama sebagai pengemban tugas  melayani hajat umat manusia.

Ini adalah sekuel terkecil dari kegagalan pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Masih banyak bentuk kegegalan lainnya yang tidak bisa saya deskripsikan secara komprehensif.

Pemerintah kita sebetulnya ibarat balita yang interested-nya hanya pada hal-hal material saja. Misalnya bagaimana membangun infrastruktur, bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat, atau bagaimana menaikkan APBD dan APBN, dan bagaimana memperlebar sungai untuk menghindari luapan air saat musim hujan tanpa adanya kepastian hukum untuk menindak masyarakat yang melakukan penebangan liar dan mengganti fungsi gunung dengan lahan pertanian lantaran lahan pertanian dan perkebunan sudah diganti dengan proyek-proyek perumahan.

Gejala-gejala sosial tersebut adalah momok lama yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas dan tegas yang menyebabkan hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Seolah regulasi pemerintahan hanya dijadikan sebagai event kontestasi politik dan euforia demokrasi yang tidak membawa angin segar sama sekali.

Sebetulnya kalau pemerintah yang ada sekarang mau mendukung serta lembaga pendidikan agar menjadikan ruang public yang luas (fisik dan non fisik) sebagai sarana pendidikan maka generasi muda yang lahir tidak akan gagap dalam menghadapi persoalan di masa depan, karena sejak dini mereka sudah dibangun sanse of belonging-nya terhadap social community-nya beserta case-case yang ada di dalamnya.

Masyarakat sebetulnya tidak butuh dengan adanya pembangunan jalan tol, mall, atau hotel-hotel bintang lima yang hanya mampu dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas dan menaikkan pendapatan pajak daerah.

Masyarakat hanya butuh haknya sebagai manusia secara adil sebagaimana yang diamanatkan oleh UU dan Pancasila yang salah satunya adalah hak berilmu pengetahuan. Hak setiap manusia yang dilahirkan tanpa kenal status sosial. Hak setiap anak-anak yang ditinggal mati orangtuanya lalu hidup di jalan-jalan dengan menadah tangan lantaran tidak  makan seharian. Hak seluruh makhluk yang menempati bumi. Kalaupun lembaga pendidikan formal tidak mampu memberikan haknya kepada semua anak secara adil, maka setidaknya pemerintah bisa menyediakan fasilitas lain sebagai alternatif yang lebih merakyat dengan mengarahkan tugas dan fungsi setiap lembaga-lembaga yang ada di bawahnya agar dapat dijadikan sebagai sarana belajar, mendistribusikan buku sebanyak-banyaknya di tiap-tiap daerah yang bahkan tidak memiliki toko buku yang leluasa dan memadai, membangun taman-taman yang bernuansa pendidikan yang bukan semata dijadikan sebagai tempat hiburan, serta menyediakan layanan public yang memiliki lapak-lapak baca, karena semestinya pemerintah harus lebih agresif dalam menanggapi kebutuhan masyarakat. Bila perlu  membangun perpustakaan-perpustakaan kelas internasional dengan segala macam program-programnya yang mencerdakan bangsa.

Dunia pendidikan adalah dunia yang kompleks, oleh karenanya butuh ruang belajar yang luas untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhannya, tidak hanya tersekat di dalam kotak yang disebut sekolah. Sudah seberapa jauh hal ini diupayakan, kita tidak tahu. tugas kita sebagai generasi muda bangsa adalah mengambil peran dikemudian hari untuk mengisi tempat-tempat strategis agar bisa memperbaiki wajah bangsa kita yang terlanjur bopeng sebelah. Kita mesti malu pada sejarah, karena sejarah telah memberikan segalanya untuk masa depan kita, sedang kita menkhianatinya dengan tidak memberikan hak kepada setiap manusia yang dilahirkan. Jadilah masyarakat yang punya growth mindset, karena orang-orang yang ingin belajar tidak boleh diusir.