Sekolah Bukan Tempat Laundry, Keluarga dan Masyarakat Perlu Terlibat

keluarga dengan sekolah penting untuk lebih diintensifkan. Jangan sampai orangtua (keluarga) cuma dua kali dalam setahun mendapat laporan tumbuh kembang anaknya. Itupun melalui kegiatan terima rapor (semester ganjil/genap). Kalaupun tidak karena alasan terima rapor, orangtua biasanya datang karena perkara kenakalan anaknya. Selain itu, tak jarang juga karena belum sanggup membayar uang sekolah sehingga perlu meminta keringanan.

Bila hal ini sering kita jumpai, artinya durasi keterlibatan orangtua dengan sekolah/guru dapat dikatakan sangatlah rendah. Padahal, kalau kita mengacu pada Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus terelaborasikan melalui tiga ruang (keluarga, sekolah, dan masyarakat). 

Minimnya keterlibatan keluarga dan masyarakat akan membuat beban sekolah berlipat dan menumpuk. Hal tersebut berpotensi pada tumpulnya proses belajar dan hasil pendidikan.

Persoalan peran tersebut lebih mudah diurai bila kita mendudukan dan membedakan antara fungsi pendidikan dan pengajaran.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, “pendidikan” (opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada “pengajaran” (onderweijs). Pengajaran lebih terbatas pada pemberian materi yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. 

Sementara pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Sedangkan pengertian dari Mohammad Hatta lebih sederhana, “pendidikan terletak di muka, pengajaran di belakang. Pendidikan membentuk karakter, pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh anak-anak yang mempunyai karakter” (Kutipan Hatta, ibid: 192). 

Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan karakter, sedangkan pengajaran berkaitan erat dengan pengetahuan. Karakter pembelajar perlu ditumbuhkan terlebih dahulu sebelum bergeser pada peran fungsi pengajaran.

Pada peran fungsi pendidikan inilah sekolah tidak bisa mengambil beban itu sendirian. Keluarga dan masyarakat juga perlu terlibat dan dilibatkan secara aktif, berkelanjutan, dan saling mengisi.

Karakter bukanlah suatu hal instan atau dalam kurun waktu tertentu, apalagi dalam waktu semalam sekali bentuk. Karakter adalah proses panjang yang didampingi dan dikontrol melalui pembiasaaan.

Pembiasaan juga tidak boleh terlalu melebar pada doktrinasi dan pelanggengan otoritas. Pembiasaan wajib dikedepankan pada nilai-nilai egaliter dan humanis. 

Sebaik-baiknya pembiasaan adalah kesadaran bahwa anak adalah subjek hidup yang mempunyai dunianya sendiri. Keterlibatan keluarga dan masyarakat, terutama orangtua tertulis pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003; pasal 8 (delapan) yang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Kemudian pasal 5 (lima) ayat 1 (satu) menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 

Psikolog Anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo bahkan mengatakan sekolah bukanlah tempat laundry, sehingga orangtua bisa menyerahkan anak kepada sekolah dan menerima hasil bersih.

Lebih lanjut, menurut dia, sudah banyak hasil penelitian yang mengatakan bahwa keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak justru dapat mendukung keberhasilan anak.

*Keluarga dan masyarakat* 

Saya teringat kejadian beberapa waktu lalu, di warung kopi. Seorang TNI memarahi temannya karena si teman memberi rokok pada pengamen cilik. Alih-alih menasihati si pengamen, justru TNI itu memarahi temannya di depan si pengamen. 

Kata yang paling saya ingat dan dengar sendiri adalah, “Meskipun dia merokok, tanggung jawabnya loh, dia masih kecil”. Tidak sampai situ, rokok itu diminta kembali dan diganti dengan uang. 

Lalu cerita lainnya, ibu saya adalah pengajar kampung yang sering melatih siswa baca tulis hitung dasar. Suatu ketika, ada kakak beradik yang belajar di rumah. Si adik tidak sengaja membuat mainan robot saya putus di beberapa bagiannya.

Ibu saya yang melihatnya tidak banyak menegur, justru terus mendekati si adik agar tidak terlalu merasa bersalah. Namun menariknya, tidak lama setelah mereka pulang, mereka kembali datang bersama ayahnya. Dengan rasa penuh tanggung jawab, si ayah meminta maaf pada ibu saya, dan kedua anaknya disuruh juga meminta maaf langsung. 

Saya yang melihat itu merasa begitu tersentuh. Dari dua kejadian tersebut, saya jadi bertanya pada diri sendiri, apa itu yang dimaksud peran masyarakat dan keluarga dalam pendidikan? Masyarakat dan keluarga jelas kurang bisa mengajarkan rumus-rumus matematika, fisika, gejala alam, analisis sosial, budaya, bahasa.

 Namun mereka sangat esensial dalam peran pendidikan. Di sinilah batas pendidikan dan pengajaran semakin jelas duduk peran fungsinya. Terkadang, kontribusi atau aksi sederhana seperti TNI dan ayah anak tersebut gagal berkembang dan dibiasakan masyarakat. 

Alhasil, saat ada keburukan pada sikap seseorang anak, justifikasi langsung dibebankan pada sekolah. Sampai timbul pernyataan “makanya sekolah yang pintar, biar….” ; “Pantas saja nakal, enggak disekolahkan orangtuanya”; “Di sekolah saja nakal, apalagi di rumah”; dsb. Hal itu mengindikasikan ada pelimpahan beban pendidikan pada sekolah.

 Sekolah dianggap memunyai otoritas penuh. Sehingga sekolah menjadi semacam bengkel karakter di mana orangtua dan masyarakat tinggal duduk, menunggu perbaikannya selesai, dan akan membayar sesuai pelayanan yang diberikan. 

Di sinilah pendidikan menjadi over fungsi. Fungsi yang seharusnya dibagi pada tiga ruang, direduksi, dan dimampatkan menjadi satu. Persoalan menjadi meningkat, lantaran sekolah justru menutupi ketidakberdayaannya dalam mengemban pelimpahan fungsi tersebut. 

Dari sinilah proses ekonomi masuk dan terjadi, orangtua dan masyarakat melakukan permintaan, sekolah mengajukan penawaran (supply-demand). 

Pada proses perkembangannya, hal tersebut berubah menjadi transaksional kapital, yang memunyai modal berlebih akan mendapat banyak pilihan. Sementara pemilik modal kapital terbatas pada akhirnya tidak akan bisa berbicara banyak. Namun, agaknya keluarga dan masyarakat lupa. Sekalipun pendidikan telah beralih fungsi menjadi transaksi kapital, pendidikan tidak akan bisa mencapai titik tujuan yang sebenarnya. 

Pencapaian atas konsep tersebut hanya terjadi pada tataran pengajaran. Lihat saja, sekolah-sekolah yang dinilai berhasil, pasti tolok ukurnya sebatas kalkulasi pencapaian prestasi akademik (juara olimpiade, lolos universitas ternama, juara lomba nasional, dsb).

Hal semacam itu tidak mengherankan kalau kita memahami dasar fungsi dari pendidikan dan pengajaran. 

Sejak awal desain sekolah memang bukan untuk memenuhi atau mengambil alih fungsi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Mulai dari sektor fasilitas, kesejahteraan guru, kejernihan administrasi, hingga pelaksanaan konsep belajar, sekolah tetap saja memiliki kapasitas terbatas. Bagian ini yang harus dipahami keluarga dan masyarakat.

*Cara yang bisa dioptimalkan*

Laman Responsive Classroom menunjukkan bahwa tidak peduli pendapatan atau latar belakang orangtua, asal mereka terlibat dalam pendidikan anak akan membuat anak lebih baik. 

Yakni anak lebih cenderung memiliki nilai ujian lebih tinggi, bersekolah secara teratur, memiliki keterampilan sosial lebih baik, menunjukkan perilaku lebih baik, dan beradaptasi dengan baik di sekolah. 

Cara paling sederhana yang bisa mulai diterapkan dalam pendampingan pendidikan anak adalah mulai aktif interaksi dengan sekolah, peduli dengan tugas sekolah anak, awasi dan kontrol aktivitas anak. 

Selain itu, buat iklim rumah ramah anak, bangun kedekatan dengan jalan-jalan dan waktu bersama, lebih sering memberi contoh ketimbang perintah, dan jadilah panutan.

Langkah-langkah tersebut harus disadari keluarga sebagai tugas utama, bukan sekunder.

Pendidikan adalah kunci tumbuh kembang anak ke arah lebih baik dalam proses hidup. Tidak bisa beban besar tersebut hanya dilimpahkan pada instansi atau lembaga tertentu. Pendidikan tanggung jawab bersama manusia. Semua harus menyadari ini.


Dikutip langsung dari kompas.com