Menteri Nadiem: Kekerasan di Satuan 0 Sudah Jadi Pandemi

 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim menyebut pandemi bukan hanya penyebaran Covid-19 saja di Indonesia, tapi kekerasan di satuan pendidikan juga telah menjadi pandemi yang besar. 

Hal itu dikatakan Nadiem saat peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-25 terkait Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP) secara daring lewat YouTube Kemendikbud Ristek, Selasa (8/8/2023).

"Saya bingung, ada pandemi yang lebih besar dan menyebar dalam skala yang lebih besar daripada Covid-19, jumlah korbannya lebih besar dari Covid-19, dan pandemi ini adalah kekerasan (di satuan pendidikan)," kata Nadiem.

Maka dari itu, Permendikbudristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan.

Peraturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.

 "Beberapa tahun terakhir kami melibatkan berbagai pihak untuk merancang sebuah regulasi yang dapat mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan yang pada hari ini kita luncurkan bersama yaitu Permendikbudristek PPKSP," ungkap dia.

Data kekerasan dan bullying Dia mengatakan, dari hasil survei Asesmen Nasional (AN) tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. 

Lalu 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik. Sedangkan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.

 Temuan itu juga dikuatkan oleh hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (SNPHAR, KPPPA) tahun 2021.

"Yakni, 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan usia 13 sampai dengan 17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir," sebut Nadiem. 

Data aduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada perlindungan khusus anak tahun 2022 juga menyebutkan kategori tertinggi anak korban kejahatan seksual, yakni anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, serta anak korban pornografi dan kejahatan siber sebanyak 2.133.

 Permendikbud PPKSP tidak akan abu-abu Dengan adanya peraturan baru ini, maka Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan akan terganti. 

Tak lupa, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan area "abu-abu" dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.

Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan.  

 "Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain," jelas Nadiem.

Selain hal-hal tersebut, Permendikbudristek PPKSP juga mengatur mekanisme pencegahan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek, serta tata cara penanganan kekerasan yang berpihak pada korban yang mendukung pemulihan.

Satuan pendidikan juga diamanatkan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas).

"TPPK dan Satgas perlu dibentuk dalam waktu 6-12 bulan setelah peraturan disahkan, agar kekerasan di satuan pendidikan segera tertangani. Jika ada laporan kekerasan, dua kelompok kerja ini harus menangani kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban, sedangkan sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik," tukas dia

Dikutip langsung dari kompas.com