Seorang Gadis yang Meminta Api Karya Anton Kurnia

Kau terbangun menjelang Mannheim. "Carmina Burana" gubahan Carl Orff mengentak di telinga. Pagi baru menggeliat. Kau duduk mengantuk di atas bus yang melaju ke timur. Sepanjang jalan melintasi daratan Jerman pepohonan hijau kuning kemerahan musim gugur terhampar. Sebagian telah ranggas. Langit mendung. Kabut mengambang di atas sungai. Terasa sebersit nuansa indah di tengah kemuraman.

Beberapa jam sebelumnya kau duduk di beranda sebuah kafe di St. Michel, di satu kawasan ramai Paris yang kerap disebut Latin Quarter. Usai berjalan-jalan mengelilingi Paris seharian, kau duduk-duduk minum kopi sebelum naik metro menuju Porte Maillot untuk mengejar bus malam terakhir ke Praha.

Saat kau asyik duduk sendiri mengisap kretek seraya menghadapi secangkir kopi di meja, matamu menangkap seorang gadis berambut panjang keluar dari dalam kafe. Di pundaknya tersampir sebuah tas. Kulitnya tak terlalu terang. Rambutnya legam.

Sosoknya ramping dengan tinggi badan sedang. Wajahnya mengingatkanmu kepada Djamila Bouhired-pejuang kemerdekaan Aljazair. Ada sebungkus rokok di tangannya. Mungkin dia baru membelinya di konter kafe.

Tak sengaja matamu bersirobok dengan matanya yang kemerjap. Dia lalu berjalan menghampirimu yang duduk di sudut di antara beberapa pasang bule setengah baya di meja lain.

"Ecuse moi," kata dia. Gadis itu lalu meminta api dengan sopan.

Kau menjawab gugup dalam bahasa Inggris. Tetapi sialnya kau lupa di mana tadi menaruh geretan. Kau berdiri, mencoba mencari-cari. Gadis itu mulai gelisah. Untunglah geretan itu segera ditemukan. Ternyata ada di saku jaketmu.

Lekas kau nyalakan rokok di bibirnya dengan geretanmu. Dia tersenyum dan berterima kasih. "Merci," katanya.

Kau lalu menawari dia duduk. Dia menggeleng, mengatakan harus segera pergi seraya menunjuk ke satu arah. Lalu dia tersenyum sekilas dan melambai. Kau membalas senyumnya dengan hati sedikit kecewa.

Lalu, saat bus melaju menuju Nurnberg setelah melewati persimpangan antara Basel dan Stuttgart, kau teringat Montmartre. Ketika kau menyusuri sepanjang jalan di sekitar kawasan lampu merah itu, kau bersua dengan klub legendaris Moulin Rogue. Kau pun terkenang sebuah film lama. Film itu berkisah tentang percintaan yang sedih antara seorang seniman miskin dan seorang primadona di panggung kabaret.

Dua puluh tahun silam, semasa mahasiswa di Bandung, sebagai pemuda yang ingin jadi penulis kau sesekali nongkrong di Cafe Terminus, di Pusat Kebudayaan Prancis. Di salah satu dindingnya saat itu ada mural warna-warni tentang kehidupan di Paris. Di situ tertera sebuah kalimat yang membuatmu tersenyum geli, "Aku rela menjual becakku demi pergi ke Paris."

Bus terus melaju. Menuju Praha. Kau teringat Kafka dan Kundera dan novel-novel mereka yang kaubaca sejak belasan tahun silam. Kau pun terkenang lagi pada seorang gadis yang meminta api lalu pergi dengan meninggalkan semacam patah hati.

Misalkan pada suatu hari kau berjumpa tanpa sengaja dengan seseorang tak dikenal di kota yang asing nun jauh dari negeri asalmu saat sama-sama sedang menunggu bus atau pesawat yang masih lama berangkat, katakanlah seperti ini: "Selepas senja Anda duduk di sebuah kafe di kawasan Latin Quarter menghadapi secangkir kopi. Di depan Anda orang-orang berlalu-lalang di trotoar. Tiba-tiba seorang gadis berambut panjang dengan mata seperti kejora berjalan mendekati Anda. Dia meminta api. Anda menyalakan geretan lalu menyorongkan ke ujung rokok yang terselip di bibirnya. Dia mengucapkan 'Merci' seraya tersenyum sekilas. Lalu seumur hidup Anda tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Pernah mengalami seperti itu?"