Pohon Durian Bobi

Hari Minggu pagi, Bobi mendapat kabar buruk. Pohon-pohon durian di kebun utara rumahnya ditebang sampai ke dekat akar. Batang yang tersisa dicacah oleh senjata tajam hingga tak ada kemungkinan untuk tumbuh lagi. “Pohon-pohon” yang dimaksud bukan dua, tiga, atau empat pohon, melainkan empat puluh pohon. Sebagian besar sudah berbunga. Bunga pertama sejak pohon-pohon itu ditanam Bapak dan Bibi. Setelah mendapat kabar itu, Bobi menangis sejadi-jadinya di pelukan Bibi. Bibir dan tenggorokannya kering, keningnya pegal, suaranya serak.

Bobi sering mendengar kabar tentang pohon-pohon yang dirusak atau pondok kebun yang dibakar diam-diam pada malam hari. Pohon-pohon pisang ambon Pak Amri, pohon-pohon pisang lampeneng dan berlin Bu Sulastri, pohon-pohon manggis Pak Remi. Kejadian-kejadian itu menciptakan kegemparan. Orang-orang bersedih dan warga desa menjadi siaga. Bobi tidak menduga peristiwa semacam itu akan terjadi pada dirinya.

Pasca kelahirannya dulu, keluarga Bobi mendapat banyak uang “amplop” dari keluarga dan tetangga. Sebagian digunakan untuk tambahan biaya perawatan eklampsia Ibu Bobi. Setelah peringatan 1000 hari Ibunya wafat, sisa uang “amplop” dipakai untuk membeli bibit-bibit durian unggul. Itulah mengapa Bobi selalu merasa bahwa pohon-pohon itu hanya miliknya dan Ibu.

Bibit-bibit ditanam ketika Bobi masih kecil, masih suka merengek kalau lapar. Sekarang, umurnya 9 tahun, sudah bisa ambil nasi dan mendadar telur sendiri. Tak ada lagi pohon durian yang tersisa. Padahal, Bobi rajin mengumpulkan karung-karung bekas yang ditemuinya untuk menempatkan durian-durian hasil panen. Karung-karung itu dilipat dan disusun rapi di kolong rak sepatu.

Malam pertama setelah penebangan, dari celah jendela, Bobi mendengar Bibi dan Neneknya bercerita di teras. Suara mereka masih terdengar sengau, sisa tangisan.

Mak tege reng-oreng, Mi, merusak milik anak piatu.”

Bobi menelan ludah. Ia tak suka kata-kata itu. Kematian ibunya tidak ada kaitannya dengan penebangan. Namun Bobi tak bisa marah perkara itu. Kemarahannya yang besar hanya terarah pada orang-orang yang menebang pohon-pohon duriannya.

Dinalah, Mak. Yang penting kita ta’ pernah jahat sama mereka.”

“Justru itu, Mi. Kenapa mereka berbuat begitu padahal kita ta’ pernah ganggu mereka? Bahkan tanah itu benar-benar milik kita, tada’ hubungannya dengan perkebunan. Dhe’ remmah riya?” Nenek Bobi tidak sungguh-sungguh bertanya. Ia terdengar sedang mencari-cari jalan keluar dari peristiwa itu sembari mengumpulkan energi yang hilang karena kesedihan.

“Kita pasti ketemu jalan, Mak…” Suara Bibinya rendah dan bergetar. Butuh konsentrasi tinggi untuk menangkap percakapan selanjutnya. Bobi jadi mengantuk. Sadar akan kantuknya, Bobi berdoa dengan kekesalan. Ia kesal pada para penebang yang kasar itu, pada bisik-bisik di antara para tetangga—yang katanya pendukung perkebunan, pada perpecahan di tanahnya.

Bibinya pernah bilang, “Bobi harus jujur kalau berdoa. Allah memang tahu semuanya, tapi tetap harus jujur supaya Bobi berani sama perasaan Bobi sendiri. Boleh sedih, boleh marah. Malah, kita harus sering menghadap Allah kalau sedih. Ingat, kalau berdoa, Bobi harus jujur.”

Malam itu, Bobi berdoa dalam hati dengan jujur, dalam keadaan marah, dengan kata-kata yang dipilihnya baik-baik. Hal itu membuatnya lelah. Malam itu, Bobi tidur sangat nyaman dan nyenyak. Seolah pohon-pohon duriannya tidak pernah ditebang.

Beberapa hari setelah penebangan pohon-pohon durian, Bobi terus mendengar para keluarga dan tetangga membicarakannya. Setelah istighosah bada Isya, Bobi melipir menghampiri sekumpulan warga desa di mushola. Ubun-ubunnya masih berdenyut dan keringatan karena habis berlarian ke sana kemari bersama teman-teman sebaya.

“Sana, main lagi!” Ujar Bibi. Biasanya, Bibi menyuruh Bobi untuk duduk di pangkuannya dan berkata, “sini, minum dulu. Je’ so lesso, deggik akemmè pas tedung.[4]” Bobi tahu, kali itu Bibi mengusir halus supaya bisa lebih leluasa bercerita tentang kecurigaannya pada para pelaku. Bibi khawatir Bobi mendengar nama-nama tertentu. Bibi takut Bobi menyimpan dendam. Namun Bobi tidak mau main lagi. Ia duduk bersandar di tembok luar mushola. Mendengar kalimat demi kalimat yang dibicarakan.

“Apa mereka ta’ cari tahu dulu sebelum merusuh? Ta’ lihat itu tanah pribadi?”

“Ya, mungkin mereka hanya mengikuti perintah, Mbak. Mereka keluarga buruh perkebunan, sementara abe’ dhibi’ riya perak petani biasa bei. Satu putih, satu hitam. Kepunyaan si hitam bakal jadi hitam semua, jadi gelap semua. Lihat saja, sudah berapa banyak petani yang dipenjarakan. Tuduhannya macam-macam.”

“Tapi kita sama-sama hidup di sini dari zaman dulu, Mbok. Orang tua kita, leluhur kita sama-sama tahu.”

“Jangan-jangan orang-orangnya memang bukan dari desa kita?”

Ta’ mungkin sepertinya kalau dari luar, apalagi dari kota. Saya curiga….”

Bobi mendengar beberapa nama yang dikenalnya disebut setelah itu. Bobi terkejut. Ada mbok pemilik warung tempatnya biasa jajan, ada bapak temannya yang murah senyum setiap kali berpapasan. Orang-orang itu bisa jadi bersalah. Bisa jadi pula tidak tahu apa-apa.

Kabarnya juga, seseorang menemukan sebuah gunting kuku yang terkait dengan rantai kecil di kebun keluarga Bobi, tempat pohon-pohon durian ditebang. Bibinya curiga, barang itu milik salah satu penebang. Terjatuh dari sakunya, atau lepas dari gantungan kunci. Bobi tak tahu harus diapakan seluruh informasi yang diterimanya itu.

Jangan terpancing, ibu-ibu, bapak-bapak. Jangan lupa, allohummaghfirli dzanbi, wa adzhib ghoizho qolbi, wa ajirni minassyaitoni. Supaya kita ta’ marah dan melakukan hal-hal yang Allah ta’ suka.” Pak Janib, sang pemimpin istighosah mengingatkan. Warga bubar, berpencar ke rumah masing-masing.

Bersama Bibi, Bobi berjalan beriringan. Jarak dari mushola tempat istighosah ke rumahnya sekitar dua kilometer. Namun Bobi selalu suka perjalanan malam hari. Desanya sejuk dan berkabut pada pagi dan malam hari. Keringatnya cepat kering di hawa yang begitu. Ditambah lagi, tak jarang Bobi pulang membawa sebotol penuh belut, pemberian warga desa yang sedang membungkuk-bungkuk menggunakan senter di tengah sawah.

Jalan menanjak, menurun, melewati jembatan, genangan air, batu-batu, dan tanah liat. Ketika hari masih terang, daerah mushola menuju rumah Bobi menawarkan pemandangan lereng Ijen dan Raung, pucuk pepohonan hijau keemasan di lembah, sawah berundak-undak, kawanan tanaman bambu petung, rumah-rumah dengan asap tungku membumbung di udara.

Pernah suatu siang, Bobi, Bapak, dan Mai si anjing putih penjaga ladang dalam perjalanan pulang setelah menangkap ayam alas. Sambil melempar pandangan ke arah lembah, Bapak berkata, “Bagus sekali ya? Tanah kita sebegini subur, luas, kaya… Makanya, kita ta’ punya alasan untuk ta’ bertahan. Kita harus melawan.” Bobi memperhatikan ayam alas yang diikat kedua kakinya. Di dalam kepala Bobi, terlintas potret ayam bakar kuning keemasan, rebusan kenikir, dan nasi hangat.

Abe’ dhibi’ aslina reng sogih ye, Pak?” Bapak mengusap kepala Bobi, mengangguk dan tersenyum. Bobi memperhatikan senyum Bapaknya. Melihat senyumnya, ia selalu merasa seperti sedang ditelan sesuatu. Sesuatu yang memeluk. Hangat dan nyaman.

Guru-guru di sekolah Bobi tidak pernah mau membahas konflik yang terjadi di desa. Padahal Bobi selalu ingin tahu. “Belum waktunya tahu tentang hal begitu,” atau “urusan orang dewasa”, ujar para guru. Sementara di rumah, kabar tentang preman-preman suruhan perkebunan selalu jadi bahan pembicaraan. Mereka bergentayangan membawa senjata tajam di antara kebun-kebun warga. Bagi Bobi, mereka lebih menakutkan dari Siluman Harimau, Hantu Kakek Tua, Manusia Kerdil misterius yang kabarnya sering tampak di sekitar sungai.

Kakeknya pernah bercerita, ia pernah bertemu sosok Manusia Kerdil di tepi jembatan. Wajahnya keriput, matanya sipit berkerut, janggutnya panjang sampai ke dada. Kakek memberinya sebatang kretek. Tangan kanan Manusia Kerdil itu menerimanya dengan sentuhan yang tegas, tanpa getaran sedikit pun. Sebelum sempat mengajaknya bicara, Manusia Kerdil itu melesat melompat-lompat di atas bebatuan sungai dan tak pernah menampakkan diri di hadapan Kakek lagi. Bobi sering bertanya-tanya, mengapa siluman atau hantu tidak mendatangi preman-preman suruhan perkebunan saja? Supaya mereka tidak betah dan segera pergi meninggalkan desa.

Dua tahun lalu, ketika kakeknya masih hidup, cerita-cerita yang diperoleh Bobi sangat beragam. Sebagian besar cerita diturunkan dari kakek buyutnya. Hampir setiap malam—kalau Kakek sedang sehat, pengantar tidur Bobi adalah cerita-cerita ajaib dan menegangkan tentang desa tempatnya dilahirkan.

“Dirampas! Tanah kita dirampas perkebunan. Bapak Bupati Banyuwangi dulu menulis surat. Isinya bilang, warga desa boleh mengelola ribuan hektar tanah untuk hidup sehari-hari, tapi tanah kita diincar perusahaan perkebunan kopi dan proyek pemukiman Belanda. Ada saja reng-oreng licik. Kita ditipu penjajah, dibohongi pengusaha. Di sini, untungnya Suku Jawa, Osing, Madura, semuanya jadi satu. Kita jadi petani yang lebih kuat.” Kakek menyeruput teh tawar dalam gelas kaleng yang digenggamnya.

“Tahun enam puluhan, banyak petani berhenti berkebun. Dulu ada yang namanya komunis, mereka ditangkapi. Banyak juga yang hilang, keluarganya mencari tapi tidak ketemu. Karena takut dituduh komunis itulah, kebun-kebun jadi kosong. Lalu, satu perusahaan perkebunan datang. Tiba-tiba saja kebun-kebun jadi punya mereka semua. Mereka menanam kopi, cengkeh, mahoni untuk dijual.” Api lancip menyala di mata Kakek.

“Apa, Pak? Kok cerita komunis komunis begitu ke anak kecil?” Bapak dari ruang sebelah menimpali. Kakek tidak terusik. Bobi pun tidak. Lagipula ia tidak tahu tahun enam puluhan itu kapan. Apa ketika dinosaurus masih ada? Atau ketika manusia hanya makan belalang dan ubi? Sudah lahirkah Uyut pada waktu itu? Apa dulu Uyut hanya makan belalang dan ubi?

“Perkebunan bennya’ pesseen ye, Kek?” Kakek menjawab pertanyaan Bobi dengan anggukan kepala.

“Dulu seluruh warga desa boleh menanam di sana. Perkebunan suruh kita untuk tanam kopi, kelapa, mahoni. Ternyata hanya bertahan lima tahun saja. Setelah itu, kita diusir. Ta’ boleh menanam, memanen, mengambil apa pun. Tiba-tiba saja mereka sudah punya HGU…”

“Ha-ge-u. Apa itu?” Pertanyaan Bobi dijawab desahan panjang Bapak di ruang sebelah. Bapak terdengar gelisah. Langkah kakinya terdengar. Tak lama kemudian, sosoknya muncul di ambang pintu.

Tedung dissa’, Bobi. Sudah malam. Besok bangun pagi-pagi, kita cari jamur.” Bapak dan kakek saling bertatapan tajam. Bobi menatap punggung Kakek yang bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan kamar. Cerita-cerita Kakek bertumpukan, saling melengkapi cerita utuh tentang para petani yang berupaya menanami kembali tanah mereka yang sempat dirampas. Bobi bersemangat tidur untuk bangun keesokan paginya. Apalagi kalau Bapak mau menemaninya mencari jamur di musim penghujan.

Kesukaan Bobi terhadap jamur tidak pernah berubah sejak Kakeknya masih hidup. Sekarang, tanpa bantuan Bapak, Bobi sudah bisa membedakan jamur liar yang bisa dimakan dan tidak. Ilmu itu yang dengan bangga Bobi beri tahu pada sekumpulan orang asing yang baru saja mulai beraktivitas di desanya. “Mereka mahasiswa,” Bapak menjelaskan.

Setiap sore, para mahasiswa itu mengumpulkan anak-anak di lapangan depan mushola. Bobi dikenalkan pada segudang permainan yang baru diketahuinya. Ludo, monopoli, pesan berantai, sambung kata. Bobi dikenalkan pada kata-kata baru yang didengarnya. Apalagi, di antara mereka ada Mbak Isti. Seorang mahasiswa dengan kantung mata tebal, mirip mata Ibu Bobi. Ia suka mengenakan gincu yang cemerlang, membuat bibirnya oranye kemerahan. Senyumnya manis seperti air di pangkal bunga asoka. Bobi malu setiap kali Mbak Isti mendapati Bobi sedang menatapnya lekat-lekat.

Suatu hari Mbak Isti mengangkut sebuah benda putih mirip kotak sepatu dengan tombol-tombol. Anak-anak, termasuk Bobi mengerumuninya,

“Mbak, apa itu, Mbak? Apa itu?” Mbak Isti menegakkan telunjuk di depan bibirnya. Setelah mengutak-atik benda itu sebentar, muncul gambar-gambar di permukaan kain putih yang sudah terbentang di sepasang bambu.

Woi, bede layar tancap, bede layar tancap! Kita nonton!” Anak-anak berlarian ke sana kemari. Mencari posisi paling depan, mencari tikar, saling merebut sandal untuk alas duduk, memenuhi barisan paling depan. Sore itu, Bobi dan teman-temannya menyaksikan film tentang kehidupan hewan serigala.

Kawanan serigala menandai wilayah kekuasaan mereka dengan urin dan kotoran. Penciuman mereka 100 kali lebih kuat dari manusia. Jika sekawanan serigala mencium aroma urin dan kotoran kawanan lain, kawanan pertama akan menyingkir. Mereka tahu bahwa itu bukan wilayah mereka. Bobi menyaksikan banyak pertempuran dan pertumpahan darah dalam tayangan itu. Pada musim tertentu, kawanan serigala menyerang sesama serigala—terutama yang lemah dan terluka—kemudian menyantapnya. Mengerikan. Menyedihkan. Namun di adegan lain, Bobi terenyuh melihat induk serigala melindungi dan merawat anak-anaknya yang terlahir tuli.

Lapangan sudah sepi menjelang maghrib. Sebagian besar warga makan sore dan solat di rumah masing-masing supaya dapat kembali waktu Isya dan istighosah tiba. Baru saja hendak beranjak pulang, Bobi melihat siluet dua orang di balik layar tancap. Satu perempuan berhijab sedang berkacak pinggang, satu lagi laki-laki yang asyik mengepul-ngepulkan asap rokok.

“Sialan. Kukira tinggal di sini akan seperti video-video YouTube yang eksotis. Hidup di desa yang dingin, berkebun, panen, memasak dengan kayu bakar. Seperti bushcraft yang sedang tren itu. Ternyata malah terjebak di wilayah konflik. Pulang pulang bisa jadi aktivis kita…” Dari suaranya, Bobi tahu itu adalah mahasiswa yang menginap di rumah Pak Janib.

“Masak kalian tidak pernah baca berita? Salah sendiri juga tidak tanya aku.” Jelas, suara kedua yang didengar Bobi itu suara Mbak Isti.

“Kalau berita besarnya, aku tahu. Tapi tidak menyangka situasinya separah ini, sampai ada pengrusakan segala. Kamu yang lebih paham daerah ini, harusnya beri peringatan dari awal. Cerita tentang mas sulungmu itu, harusnya kamu kasih tahu kami dulu.”

“Halah, sudahlah. Aku tidak ada urusan dengan dia dan keluarganya. Pulang ke rumahnya pun aku cuma numpang cuci baju di mesin. Istrinya judes padaku.”

“Eh, benar tidak, kabar dia terima uang santunan 3 juta rupiah dari perkebunan itu?” Bobi tak mendengar jawaban Mbak Isti.

“Kalau aku jadi warga di sini ya, Is, tidak akan aku terima. Satu kali dapat saja pula. Kecil itu untuk ukuran petani yang menggarap lahan seperempat hektar, kirim pisang ke mana-mana, sampai ke Bali malah. Yang lebih penting dari itu, harga diri…” Mahasiswa itu mematikan rokok di telapak sepatunya.

“Aku tidak mau bahas soal itu. Mau dia terima uang santunan, mau dia akhirnya bekerja untuk perkebunan, bukan urusanku. Sudahlah, ayo antar aku ke rumah Masku.”

“Aku numpang cuci bajuku ya.”

“Iya, asal jangan kamu cuci sempakmu juga. Njijiki.” Mbak Isti melangkahkah kakinya ke samping layar tancap. “Belikan bensin juga ya. Satu botol aja.” Lanjut mahasiswa laki-laki itu sambil menyusul langkah Mbak Isti.

“Iya. Sekalian nanti mampir ke minimarket. Masku titip beli gunting kuku. Diamuk istrinya dia gara-gara menghilangkan gunting kuku.” Mata Mbak Isti menangkap sosok Bobi yang mematung di hadapan layar. Ia menyeringai.

“Oh, hai, Bobi…” Bobi menengadah menghadapi barisan gigi putih dan bibir merah muda melengkung yang tiba-tiba saja tak lagi ada mirip-miripnya dengan bunga asoka. Bobi malah ingat barisan gigi serigala di dalam film tadi.

Bobi tak menjawab sapaan Mbak Isti. Ia hanya ingin menunduk. Tertangkap olehnya jejak getah pisang di celana panjangnya. Ah, dia kurang berhati-hati ketika membantu Bapak panen pisang tadi siang. Ia terlalu asyik bermain dengan Mai, memanen sekarung pakis, junggul, dan jamur kuping.

Tanpa menoleh lagi ke belakang, Bobi berlari kencang tanpa henti. Setiba di rumah, Bapaknya berseru, “Bobi, jangan lari-lari! Seperti sedang dikejar siluman saja!” Lintingan tembakau menempel di mulutnya. Bobi tak peduli. Ia tetap berlari ke kamar dan mengurung diri hingga azan Isya berkumandang.

Malam itu, di tengah malam yang gelapnya pekat, Bobi menyaksikan gerombolan serigala yang sedang mengintai dari balik pohon-pohon durian yang tinggi dengan buah bergelantungan. Mata mereka menyala, telinga mereka tegak. Sekilas, Bobi melihat deretan gigi tajam yang terasa menusuk dan mengoyak isi perutnya. Bobi limbung. Karung-karung di tangannya jatuh ke tanah. Ia sadar serigala itu mulai maju mendekatinya. Bobi mundur pelan-pelan sambil memandang berkeliling. Sebagian pohon-pohon durian sudah ditebang, batang yang tersisa dicacah. Bobi bertanya-tanya, siapa dalang penebangan itu? Bobi yakin, serigala tidak akan merusak pohon-pohon, mereka tidak bisa mencabik batang-batang, mereka tidak suka makan durian. Seluruh tubuh Bobi bergetar tak karuan.

Dari arah barat, ia menangkap tiga bayangan yang melangkah dengan berani. Bobi langsung mengenalinya karena tubuh mereka bersinar seperti cahaya pada layar tancap. Siluman Harimau, Hantu Kakek Tua, dan Manusia Kerdil berjalan ke arah gerombolan serigala. Kedua kelompok itu bertarung di hadapan Bobi. Siluman Harimau menerkam dengan cakar, serigala menggigit. Hantu Kakek Tua menyetrum dengan tongkat, serigala terlempar. Manusia Kerdil meniupkan asap tebal dari mulutnya, serigala berusaha menyerang meski matanya pejam karena terlalu pedih. Bobi berlari sekencang-kencangnya tanpa henti menuju rumah.

Bobi menggelepar, terbangun dari tidur. Matanya yang terbuka lebar seketika mengecil lagi. Ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar. Ia merasakan keringat membasahi leher dan ketiaknya. Celana pendeknya lebih basah lagi, seperti habis tercelup di dalam kubangan. Bagian bokongnya menempel di kasur busa yang seprainya sudah tersingkap. Bobi berbaring sambil merasakan becek di kasur dan bau pesing tipis di sekitar.

“Je’ so lesso, deggik akemmè pas tedung.” Suara rendah Bibi menderu seperti angin di telinga Bobi, entah datang dari mana. Ia berlari ke kamar mandi. Tangisnya pecah. Dadanya sesak. Mungkin karena takut serigala dan hantu-hantu. Mungkin pula karena ingat, tak satu pun pohon duriannya yang bisa tumbuh lagi.


sumber: https://www.bacapetra.co/pohon-durian-bobi/