Kisah Akhir Hayat Husain yang Mati Syahid
Sayyidina Husain mendapatkan ujian yang sangat berat. Satu demi satu orang yang disayanginya kembali ke sisi Allah SWT.
Kakeknya, Rasulullah SAW, wafat karena sakit. Ibunya, Fatimah Az-Zahra juga wafat karena sakit. Sementara ayahnya, Ali bin Abi Thalib, wafat karena dibunuh saat sedang menunaikan salat subuh. Kakaknya, Hasan bin Ali wafat sebagai syuhada.
Sayyidina Husain menjalani semua ujian itu penuh kesabaran.
Dikisahkan, saat Yazid bin Mu'awiyyah dinobatkan menjadi khalifah, Sayyidina Husain tidak menyetujuinya. Begitupun dengan kaum muslimin.
Pasalnya, Yazid merupakan seorang yang korup. Selain itu ia juga seorang peminum khamar dan menyenangkan dirinya dengan kera dan anjing-anjingnya.
Namun, Yazid memperoleh kedudukan karena warisan ayahnya, Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Hal itu bertentangan dengan prinsip dari Rasulullah SAW.
Di Makkah, Sayyidina Husain mendapat banyak surat dari penduduk Kufah. Surat-surat itu berisi dukungan mereka kepada Sayyidina Husain. Mereka meminta dukungan kepada Sayyidina Husain dan memintanya untuk datang ke Kufah dan dinobatkan menjadi khalifah.
Sayyidina Husain saat itu berada di Madinah, ia juga tidak bersumpah setia kepada Yazid karena kelakuan buruknya.
Akhirnya Sayyidina Husain mengutus saudara sepupunya, Muslim bin Aqil ke Kufah sebagai duta atau wakilnya. Sayyidina Husain meminta saudara sepupunya untuk tinggal bersama orang yang paling setia di Kufah.
Pada akhirnya, Muslim bin Aqil tinggal bersama Al Mukhtar. Rakyat Kufah pun mendengar kedatangannya.
Orang-orang berkumpul di sekitar rumah Al Mukhtar untuk bertemu utusan Sayyidina Husain dan bersedia menegakkan pemerintahan ilahi. Namun, semua itu ternyata hanya kepalsuan semata.
Menurut buku Sejarah Agung Hasan dan Husain karya Ukasyah Habibu Ahmad, Sayyidina Husain tetap pada pendiriannya untuk menuju Kufah. Setelah tiba di daerah Bathnur Rummah, ia menulis surat kepada penduduk Kufah untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sampai di Bathnur Rummah.
Ia mengutus Qais bin Mashar as-Saidawi, namun nahas Qais bin Mashar as-Saidawi tertangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad lalu ia dibunuh. Kemudian Sayyidina Husain melanjutkan perjalanan hingga tiba di Zarud.
Ketika hendak bertolak dari wilayah tersebut, ia baru mendapatkan informasi bahwa Muslim bin Aqil dan Hani' bin Urwah telah terbunuh. Selain itu juga ia mendapatkan informasi tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang Kufah.
Menyadari hal tersebut, Sayyidina Husain pun memutuskan untuk pulang. Namun seperti yang disebutkan dalam Al-Akhbar ath-Thiwal bahwa orang-orang bani Aqil berkata, "Bagi kami, tidak ada gunanya hidup setelah Muslim bin Aqil terbunuh. Kami tidak akan kembali sampai kami mati."
Mendengar hal tersebut, Sayyidina Husain pun berkata, "Lantas, apa gunanya aku hidup setelah mereka mati?"
Sayyidina Husain pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dan memperbolehkan apabila rombongannya berkeinginan untuk pulang atau terus bersamanya. Ketika sampai di Zubalah, ia dan rombongannya bertemu dengan Umar bin Sa'ad dan Ibnul Asy'ats yang membawa surat dari Muslim bin Aqil yang isinya menyampaikan ketidakpedulian penduduk Kufah terhadap dirinya.
Meskipun sempat dihadang oleh al-Hurru bi Yazid at-Tamimi atas perintah Ubaidillah bin Ziyad, Husain akhirnya tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 H. kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat yang konon mencapai 100.000 orang yang siap menyatakan janji setia kepada Sayyidina Husain. Ternyata benarlah, kekhawatiran dari keluarga dan sahabat Sayyidina Husain.
Masih dalam buku yang sama, pada akhirnya Sayyidina Husain beserta dengan rombongan dikepung selama beberapa hari, tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H. Sebanyak 5.000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad bin Abi Waqash menyerbu rombongan Sayyidina Husain.
Tujuan pengepungan ini ialah atas perintah Ubaidillah bin Ziyad memaksa Sayyidina Husain untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah.
Menurut sejarawan, rombongan Sayyidina Husain hanya berjumlah 72 orang yang terdiri dari 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri atas anak-anak dan perempuan. Dengan jumlah yang tidak seimbang inilah tentu membuat pasukan Sayyidina Husain kalah telak.
Dalam pertempuran itu, akhirnya hanya menyisakan dirinya dan sebagian keluarganya yang terdiri atas wanita dan anak-anak.
Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wan Nihayah mengisahkan, pada 10 Muharram pasukan Ubaidillah bin Ziyad memukul kepala Sayyidina Husain dengan pedang hingga berdarah. Lalu, Sayyidina Husain membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya.
Dengan cepat, balutan kain terlihat penuh dengan darah. Saat itu ada pula dengan teganya melepaskan panah dan mengenai leher Sayyidina Husain. Namun, ia masih hidup sambil memegangi lehernya ia menuju ke arah sungai karena kehausan.
Kemudian pasukan itu mengepung dan tidak membiarkan Sayyidina Husain untuk minum. Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa yang membunuh Sayyidina Husain dengan tombak adalah Sina bin Anas bin Amr Nakhai, lalu ia menggorok leher Sayyidina Husain dan menyerahkannya kepada Khawali bin Yazid.
Para ulama berselisih pendapat tentang waktu terbunuhnya Sayyidina Husain. Akan tetapi mayoritas menguatkan bahwa Sayyidina Husain wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H. Ibnu Hajar al-Asqalani juga menguatkan bahwa umur Sayyidina Husain saat wafat ialah 56 tahun.
Rizem Aizid dalam buku Mahar Bidadari Surga menjelaskan mengenai mati syahid seperti yang terjadi pada Sayyidina Husain. Bagi para muslim yang meninggal di medan perang dan berjuang tanpa maksud tertentu sudah termasuk pada jihad fisabilillah.
Oleh karena itu, seseorang yang mati syahid jenazahnya tidak perlu dimandikan. Bahkan tidak perlu diberi kain kafan dan di salatkan. Cukuplah baginya dikuburkan saja dengan pakaian lengkap yang dipakainya ketika jihad fi sabilillah.
Karena wafatnya tersebut Sayyidina Husain menjadi cucu Nabi Muhammad SAW yang tidak mendapatkan kain kafan dari Malaikat Jibril.