Julaibib, Sahabat Nabi yang Menikah dengan Bidadari

Julaibib, sahabat Nabi yang satu ini namanya tidak begitu populer. Wajahnya tidak tampan dan secara ekonomi ia juga tidak kaya. Namun, ia dipilih Allah untuk menikah dengan bidadari.
Pada suatu hari, Rasulullah bertanya kepada salah seorang sahabat. “Aku mau melamar putrimu, apakah engkau setuju?”
Siapa orang yang tidak mau putrinya dinikahi Rasulullah. Bahkan kata Syaikh Mahmud Al Mishri dalam buku sirah shahabat yang berjudul Ashaabur Rasul, sebelum menikahkan putrinya, para sahabat menghadap Rasulullah dengan harapan siapa tahu Rasulullah berkenan menikahinya.
“Tentu ya Rasulullah, dengan senang hati.”
“Tapi aku melamar putrimu bukan untukku.”
“Untuk siapa ya Rasulullah?” Sahabat itu mulai kepikiran. Jika bukan untuk Rasulullah, lalu untuk siapa? Kalau untuk sahabat ternama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali pasti banyak ayah senang putrinya menjadi istri sahabat Nabi terbaik. Kalau untuk Abdurrahman bin Auf, pasti banyak juga ayah yang senang putrinya menjadi istri sahabat ternama yang kaya raya.
“Untuk Julaibib.”
Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Kebetulan ia tahu Julaibib, seorang sahabat Nabi yang tidak punya dan wajahnya juga tidak tampan. “Kalau begitu aku musyawarahkan dengan keluargaku dulu ya Rasulullah.”
***
“Rasulullah melamar putri kita,” kata Sahabat itu kepada istrinya sesampainya di rumah.
“Alhamdulillah… betapa beruntungnya kita.”
“Tapi bukan untuk beliau.”
“Lalu untuk siapa?”
“Julaibib.”
“Kalau untuknya, aku tidak akan menikahkan putri kita.” Sang ibu mengkhawatirkan masa depan putrinya. Kekhawatiran yang wajar bagi orangtua, putrinya yang sangat cantik harus menikah dengan laki-laki yang tidak tampan dan tidak punya? Wajar ia khawatir dan tidak menyetujuinya.
“Ayah, ibu, apa yang kalian katakan? Apakah kalian akan menolak pinangan Rasulullah?” Putrinya yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka keluar dari kamarnya.
“Tapi bukan untuk Rasulullah. Untuk Julaibib.”
“Jika Rasulullah yang melamar, apakah Ayah dan Ibu akan menolak? Aku sekali-kali tidak akan menolaknya. Aku yakin Rasulullah tidak akan membuat kita sengsara.” Jawaban tegas gadis itu meluluhkan hati ayah bundanya.
***
Pernikahan dilangsungkan. Di malam harinya, sebelum Julaibib menikmati malam pertama dengan istri yang cantik jelita itu, seruan jihad menggema.
“Wahai para penunggang kuda, siapkan kuda kalian. Malam ini ada perang fi sabilillah!”
“Wahai para pemanah, siapkan panah kalian. Malam ini ada perang fi sabilillah!”
Mendengar seruan itu, ia langsung bergegas. Ia segera keluar rumah menyongsong panggilan jihad.
Ketika perang selesai, Rasulullah bertanya kepada para sahabat yang sedang mengevakuasi mujahid yang terluka dan para syuhada. “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak ya Rasulullah. Semua sudah kita temukan.”
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak ya Rasulullah. Semua pasukan sudah kembali, yang syahid sudah kita temukan.”
“Apakah kalian kehilangan seseorang?” Pertanyaan itu sampai diulang tiga kali. “Aku kehilangan Julaibib.”
Mereka tidak terpikir nama itu. Setelah disebut oleh Rasulullah, baru mereka mencarinya dan mendapatkan Julaibib telah syahid. Di sekitar jasadnya ada tujuh mayat musuh. Para sahabat mendapatkan kesimpulan, Julaibib syahid setelah membunuh tujuh tentara kafir tersebut.
Lalu Rasulullah membopong jasad Julaibib dengan kedua tangan beliau. Ketika memakamkan, Rasulullah juga yang memasukkan jasadnya ke makam.
“Julaibib adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Julaibib,” Rasulullah mengulangi kalimat itu dua kali. Membuat banyak sahabat iri. Ternyata kedudukan Julaibib sangat istimewa di hadapan Rasulullah. Ia mati syahid dan dinyatakan bagian dari Rasulullah, yang tentu saja mendapat keutamaan besar termasuk dinikahkan dengan bidadari.