PUTRI DELIMA
Dahulu ada seorang raja dan permaisuri. Mereka mempunyai seorang putra mahkota. Raja dan permaisuri yang sudah lanjut usia ini sangat mencintai putra tunggalnya. Mereka menganjurkan agar putra mahkota segera mencari istri sehingga segera dapat menggantikan ayahnya.
Suatu hari, putra mahkota sedang makan ricotta, makanan kesayangannya. Ricotta adalah keju khas dari Italia dan berwarna putih. Karena lengah, jarinya luka tersayat pisau dan berdarah. Setetes darah jatuh ke atas potongan ricotta. Sambil memandang pada darah merah yang menetes di atas ricotta yang putih itu, timbul keinginannya yang aneh.
Tiba-tiba ia berkata pada ibundanya, “Wahai Ibunda, Ananda ingin mencari istri yang putih seperti ricotta dan merah seperti darah.”
Mendengar kata putra mahkota itu, ibundanya tertawa dan menjawab, “Anakku, mana ada putri yang putih seperti ricotta dan merah seperti darah.”
Namun, putra mahkota telah bertekad akan mencari seorang putri seperti yang diimpikannya. Betapapun kedua orang tuanya membujuk, ia tetap bersikeras. Suatu hari, putra mahkota memohon diri pada ibundanya untuk pergi berkelana. la berjanji tidak akan kembali sebelum mendapatkan istri yang sesuai dengan itnpiannya.
Berjalanlah putra mahkota menyeberangi sungai dan laut, merambah hutan dan mendaki gunung, berhari-hari dan bertahun- tahun. Pada suatu hari, di suatu tempat yang tenang ia bertemu dengan seorang wanita setengah tua yang menegurnya, “Wahai Pangeran, ke mana gerangan tujuan Tuan?”
“Aku mau mencari gadis yang putih seperti ricotta dan merah seperti darah.”
Wanita itu tercengang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tentu ia mengira kelana itu kurang waras. Putra mahkota meneruskan perjalanannya, tidak mengenal lelah dan payah. Suatu senja, ia bertemu dengan seorang nenek, “Hai orang muda, hendak ke mana kau gerangan?”
“Oh,Nenek, aku mencari putri idamanku yang putih seperti ricotta dan merah seperti darah.”
Nenek itu memandangnya sambil berkata, “Wahai orang muda, siapa yang putih tentunya tidak akan merah, sedang yang merah tentunya tidak mungkin putih.”
Mendengar kata nenek itu, putra mahkota hendak marah, tetapi nenek itu memegang tangannya. “Kalau kau memang yakin, pergi dan carilah putri idamanmu itu. Ambillah tiga buah delima ini sebagai bekal dari Nenek,” katanya sambil memberikan tiga buah delima ke tangan putra mahkota.
“Kupaslah buah ini dan lihat isinya. Namun, ada syarat yang harus kau patuhi. Kau boleh membuka kalau sudah sampai di sebuah telaga.”
Putra mahkota menerima buah delima sambil mengucapkan terima kasih dan meneruskan perjalanan. Tak lama kemudian, ia sampai di dekat sebuah telaga. la pun membuka sebuah delima. Tiba-tiba dari dalamnya muncul seorang gadis cantik yang putih seperti ricotta dan merah seperti darah. Putra mahkota tercengang penuh bahagia.
la baru sadar ketika mendengar keluhan gadis cantik itu, sambil memohon pada putra mahkota:
“Wahai orang muda ambilkan air sebab tanpa air aku akan mati lemas.”
Cepat-cepat putra mahkota berlari ke pinggir danau dan menyiduk air dengan kedua tangannya. Ketika ia kembali, sang gadis telah mati lemas. Kiranya ia sudah terlambat.
Dengan sedih diambilnya buah delima yang kedua dan dikupasnya dengan hati-hati. Dari dalamnya muncul pula seorang gadis yang lebih cantik daripada gadis pertama. Gadis ini merintih dan memohon pada putra mahkota untuk cepat-cepat mengambilkan air minum, kalau tidak ia akan mati kehausan. Putra mahkota berlari secepat-cepatnya dan menyiduk air dari telaga. Namun, ketika kembali, gadis itu telah mati kehausan. Putra mahkota menangis dan hampir putus asa.
Diambilnya buah delima yang ketiga dan dibukanya. Dari dalamnya keluar pula seorang gadis yang jauh lebih cantik daripada kedua gadis yang sebelumnya. Tanpa menunggu lagi, putra mahkota berlari, menyiduk air dan dicipratkannya air telaga ke muka gadis itu. Sang gadis menarik napas dan tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih.
Gadis itu tersipu-sipu menutupi tubuhnya dengan rambutnya yang panjang terurai. Sebagaimana bayi yang baru lahir, tubuh gadis ini tidak ditutupi sehelai benang pun.
Putra mahkota segera membuka mantel dan menyelimutkannya ke tubuh gadis itu. Sambil berpikir, ia memandang ke sekeliling telaga, lalu berkata, “Wahai gadis, lihatlah, di tepi telaga ini ada pohon yang rindang, naik dan duduklah di cabang pohon. Tunggu aku di sana. Aku akan pergi mengambil pakaian dan kereta untuk membawamu ke istana ayahku”
Dengan patuh, gadis itu memanjat pohon dan duduk pada dahan yang kuat dan rindang.
Alkisah, setiap hari rupanya orang di sekitar telaga itu datang untuk mengambil air. Salah seorang di antaranya adalah si Saracina, seorang gadis yang berwajah jelek. la bekerja di rumah seorang saudagar. Saudagar dan istrinya ini termasyhur sangat kikir. Setiap hari, Saracina harus mengambil air dari telaga itu.
Suatu hari, ketika ia datang untuk mengisi kendi airnya, dilihatnya di permukaan air telaga yang jernih itu ada bayangan wajah seorang gadis yang sangat cantik.
la berkata dalam hati, “Oh, bagaimana mungkin, seorang gadis yang berwajah cantik seperti aku ini harus mengambil air setiap hari untuk saudagar kikir itu.” Lalu, dihempaskannya kendi airnya sampai pecah dan cepat-cepat pulang.
Sesampai di rumah, istri saudagar bertanya, “Mana air dan kendinya?”
Istri saudagar sangat marah mendengar jawaban Saracina dan rnemerintahkan untuk kembali ke telaga mengambil air. Setiba di telaga, Saracina melihat lagi bayangan wajah cantik di permukaan air. “Oh, rupanya memang aku cantik sekali. Ah, peduli apa aku akan istri saudagar yang cerewet itu.” Lalu, dihempaskannya lagi kendi berisi air itu.
Demikianlah berkali-kali terjadi, sampai akhirnya gadis di atas pohon itu tak sampai hati lalu menegurnya.
Saracina kaget sekali dan memandang ke atas pohon sambil mendengarkan kisah gadis itu. Dengan marah, Saracina berkata, Mengapa tidak dari tadi kau mengatakannya, kau tunggu sampai aku memecahkan beberapa kendi dan menerima makian istri saudagar!”
Sambil memandang terus pada gadis itu, Saracina meneruskan, “Tapi kau memang cantik sekali, cantik sekali.”
Kemudian, timbul niat jahat dalam hati Saracina. “Turunlah wahai gadis cantik,” katanya, “aku ingin memegang rambutmu yang indah, biarkan aku menyisir rambut itu.”
Semula gadis itu tak mau turun. la malu sebab tidak memakai pakaian. Namun, Saracina memohon terus, ‘‘Turunlah, supaya aku dapat menyisir rambutmu, pasti kau akan kelihatan lebih cantik lagi.”
Karena kasihan, gadis itu turun sambil menguraikan rambutnya yang panjang dan lebat untuk menutupi tubuhnya. Saracina mulai membelai rambutnya dan menyisirinya. Sebentar kemudian, segera ia mengambil tusuk konde yang dipakainya dan menusukkan ke dalam telinga gadis itu. Dari telinga itu keluar setetes darah, lalu gadis itu pun mati. Tetesan darah itu jatuh ke tanah. Begitu jatuh ke tanah, segera berubah menjadi seekor burung dara yang cepat-cepat terbang. Kemudian, Saracina pun cepat-cepat naik ke atas pohon dan duduk di atas dahan yang rindang.
Sementara itu, putra mahkota kembali dengan kereta kuda yang indah dan seperangkat pakaian untuk gadis impiannya. Dengan hati-hati, diturunkan dan dituntunnya gadis itu dari pohon. Tiba-tiba ia terkejut ketika melihat gadis yang dituntunnya itu ternyata berwajah jelek. Lalu ia bertanya, “Tadi kamu demikian putihnya seperti ricotta dan merah seperti darah. Mengapa sekarang kamu menjadi hitam?”
Saracina menjawab, “Wahai putra mahkota, matahari bersinar dengan teriknya sehingga kulitku menjadi hitam.”
Putra mahkota bertambah heran mendengar suara yang serak dan kasar, “Mengapa suaramu berubah?”
Saracina menjawab, “Oh, putra mahkota, tadi angin dingin bertiup dengan kencangnya sehingga suaraku menjadi serak.”
Putra mahkota pun memandang dengan mata terbelalak, “Oh, tadinya kau sangat cantik, mengapa sekarang menjadi begini?”
“Yah, angin kencang yang bertiup telah membawa terbang seluruh kecantikanku.”
Putra mahkota terpaksa percaya semua kata Saracina. Dinaikkannya Saracina ke atas kereta kuda dan dibawa ke istana. Sejak itu, Saracina tinggal di istana, diperlakukan dengan baik dan menjadi calon pengantin putra mahkota.
Sejak kejadian itu, rupanya setiap hari di jendela dapur istana selalu hinggap seekor burung dara yang menantikan kebaikan hati tukang masak. Tukang masak istana selalu memberinya sisa-sisa makanan.
Sambil menikmati makanan, burung itu selalu menanyakan pada tukang masak, apa gerangan yang sedang dilakukan putra mahkota dan calon pengantinnya. Tukang masak selalu menjawab bahwa mereka setiap hari makan, minum, dan tidur. Demikianlah setiap hari burung itu datang, makan, dan menanyakan kabar putra mahkota.
Suatu hari, tukang masak memutuskan untuk menceritakan pada putra mahkota tentang burung ajaib itu. Putra mahkota pun menyuruh tukang masak untuk menangkap dan membawa burung itu kepadanya. Malangnya, pada saat itu Saracina sedang duduk di balik pintu. Setelah mendengar pembicaraan antara tukang masak dan putra mahkota, tahulah ia bahwa burung itu tak lain penjelmaan gadis cantik yang dibunuhnya.
Sebelum tukang masak dapat menangkap burung itu, Saracina sudah siap, lalu menangkap dan menusuk burung dara itu sampai mati. Dari tusukan di tubuhnya keluar darah. Setetes darah telah jatuh ke tanah di dalam taman di samping jendela dapur. Pada tempat darah itu menetes, tumbuh sebatang pohon delima. Pohon delima ini tumbuh dengan subur dan buahnya sangat lebat.
Ternyata buah delima ini mempunyai khasiat. Barang siapa yang memakan buahnya, ia akan sembuh dari penyakit apa pun. Demikianlah setiap hari berdatangan orang yang meminta buah delima untuk obat, sampai akhirnya hanya tinggal satu buah saja.
Lalu Saracina berkata, “Buah yang satu ini akan kupertahankan untukku sendiri,” lalu disimpannya.
Suatu hari, datang seorang wanita tua yang meminta buah delima sebab suaminya sakit keras. Saracina tidak mau memberikan buah itu, sampai kemudian datang putra mahkota yang telah mendengar juga permohonan wanita tua itu. Lalu, ia berkata pada Saracina agar memberikan saja buah delimanya pada wanita tua itu. Sayangnya, sudah terlambat, karena setiba wanita itu di rumah, suaminya sudah meninggal.
Wanita itu pun memutuskan untuk menyimpan delima itu untuknya sendiri, lalu disimpan di dekat tungku di dapur.
Setiap hari, wanita ini pergi mengerjakan kebunnya. Pada saat ia keluar rumah, keluarlah seorang gadis cantik dari buah delima. Dibersihkan rumah nenek itu, dihidupkan api untuk berdiang, lalu ia memasak dan mencuci pakaian. Setelah selesai, segera ia masuk kembali ke dalam buah delima.
Demikianlah terjadi setiap hari. Nenek itu tentu saja heran, tetapi tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Lama-kelamaan nenek itu mulai curiga dan memutuskan untuk mengintip.
Suatu hari, ia pura-pura pergi ke luar, tetapi kemudian kembali lagi ke dalam rumah dan bersembunyi di balik pintu. la pun melihat semua kejadian yang ajaib itu. Nenek sangat takjub melihat kecantikan gadis dan mulai menyayanginya. Setelah beberapa lama, Nenek bertekad untuk memergoki gadis itu.
Suatu hari, ketika gadis itu sibuk membersihkan rumah, Nenek keluar dari balik pintu. Gadis itu tak sempat lagi masuk kembali ke dalam buah delima. la terkejut dan ketakutan.
Nenek itu berkata, “Aku tidak mau menyakitimu dan aku tidak marah. Katakanlah dari mana kau datang dan bagaimana kau sampai ada di sini.”
Gadis itu menceritakan kisahnya. Sambil mendengarkan kisah gadis itu, Nenek cepat-cepat mengambil benang dan jarum rajutnya, lalu membuatkan pakaian sekadar menutupi tubuh gadis itu. Kemudian, gadis itu diberi nama Putri Delima.
Alkisah, tersebarlah berita tentang nenek yang tiba-tiba mempunyai cucu seorang gadis yang sangat cantik. Kabar angin itupun sampai ke telinga putra mahkota yang segera berangkat untuk melihat gadis itu. Setelah melihat gadis itu, putra mahkota terperanjat sebab gadis itu putih seperti ricotta dan merah seperti darah. Putra mahkota segera mendatangi rumah Nenek, lalu bertanya, tentang gadis itu. Melihat putra mahkota, Nenek ketakutan dan memohon, “Wahai Tuanku, jangan hamba dihukum.”
Putra mahkota memegang tangan Nenek sambil berkata, “Aku tidak akan menghukummu, aku hanya ingin mengetahui siapakah gadis itu.” Nenek pun menceritakan kisah gadis itu.
Putra mahkota tak ragu-ragu lagi, dialah putri idamannya. Diajaknya Nenek dan gadis itu ke istana. Dipanggilnya Saracina. Melihat gadis itu, Saracina tak berdaya dan menunduk ketakutan.
Putra mahkota yang baik hati itu berkata, “Aku tak mau munghukummu, biarlah kau menderita sendiri akibat perbuatanmu yang jahat.”
Akhirnya, putra mahkota berhasil mencapai keinginannya dan menikah dengan putri cantik yarig putih seperti ricotta dan merah seperti darah. Mereka hidup bahagia dan menggantikan orangtuanya menjadi raja dan ratu yang bijaksana.