Mimpi Suntre

Warna lembayung itu telah selesai menyapa senja, pertanda hari 'kan menjelang malam. Dedaunan tampak menunduk lemah, lelah seharian menemani matahari. Kicau burung tidak lagi terdengar. Satu per satu mereka menuju peraduannya. Sesekali terdengar kelepak kelelawar yang melintas di atas rumah, tempat tinggal Sasandewini dan Suntre.


Kakak-adik itu hidup rukun. Setiap hari mereka selalu bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Sasandewini senang memasak. Suntre lebih senang menyapu dan merapikan rumah. Mereka hidup bersama neneknya. Setiap hari Sasandewini dan Suntre harus mengurus neneknya yang sedang sakit. Kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena terjangkit wabah yang melanda kampungnya.


"Kenapa malam ini dingin sekali, Kak?" Suntre memecah kesunyian.

"Benar, Suntre. Dinginnya seakan menusuk tulang," jawab Sasandewini.


"Bahkan ujung rambutku pun seakan-akan ikut merasakan dinginnya malam ini," lanjut Suntre sambil menyelimuti tubuhnya. Kedua ujung tangannya disembunyikan di bawah kepala. Udara dingin itu juga terasa di ujung daun telinga Suntre.


"Mengapa saat musim kemarau udara dingin sekali, Kak?"

"Ya, Ingat kata ayah dulu, udara malam di musim kemarau selalu lebih dingin dibandingkan dengan musim hujan," kata Sasandewini.

"O, begitu. Ujung kakiku ini sangat dingin, Kak."

"Pakailah kain itu, Suntre!"

"Sudah, ini kain selimutnya," lanjut Suntre sambil menarik selimut untuk menutupi ujung kakinya.

"Suntre, besok pagi kita mencari pucuk pakis ke gunung, ya," Sasandewini mengalihkan pembicaraan.

"Pucuk pakis?"

"Ya, kita akan memetik daun pakis dan daun ganemo ke gunung di seberang sana, Suntre."

"Ya, Kak," jawab Suntre pendek.

"Kak, sebaiknya kita berangkat sebelum matahari terbit."

"Benar, Suntre. Segeralah tidur supaya besok kita bisa berangkat pagi-pagi."


Suntre merebahkan tubuh mungilnya, menyelimuti badan, dan menyulam mimpi bersama malam.


Dinginnya malam menemani dua gadis kecil itu menyongsong pagi. Jangkrik tak berhenti mengerik mengisi kekosongan sunyinya malam. Sasandewini melihat pintu depan sekali lagi untuk meyakinkan apakah sudah benar-benar terkunci.


Lentera kecil di ruang depan la bawa ke belakang. Nyala lentera itu meliuk-liuk tersapu angin. la tekan kuat-kuat kayu penyangga pintu itu. "Aman," gumamnya. Sasandewini membalikkan badan, menuju kamar. Ia merebahkan badannya di samping adiknya. Suntre sudah tertidur pulas. Dalam tidurnya, Suntre bermimpi.


"Mau ke mana, Gadis Kecil?" sapa seorang Kakek berjubah putih dan berjenggot panjang.

"Sa ... sa ... saya... mau ke sungai, " jawab Suntre terbata-bata.

"Kenapa engkau lewat tempat ini?".

"Saya tidak tahu harus lewat mana, Kek."

"Sungai itu sangat berbahaya, cucuku. Ada seekor buaya putih penunggu sungai itu."

"Buaya?" Suntre kaget.

"Lebih baik urungkan saja niatmu itu, cucuku."


Suntre belum menjawab, tiba-tiba kakek itu menghilang dari hadapan Suntre. Suntre melanjutkan perjalanan menuju sungai. Langkahnya ia percepat. Dengan sangat hati-hati Suntre menuruni tebing. Suntre berusaha melupakan perkataan kakek itu. Tiba-tiba seekor buaya putih meloncat tepat di depan Suntre.


"Haaah," Suntre tersentak.


Suntre terbangun. Ia cubiti tangan dan pipinya sendiri. Ia entak-entakkan kakinya ke tanah. Akhirnya, ia sadar ternyata tubuhnya sudah jatuh dari tempat tidur.


"Huuuh... untung hanya mimpi," gerutu Suntre sambil mengusap-usap matanya. Jantungnya masih berdegup kencang. Suntre menengok ke kanan dan ke kiri mencari kakaknya, tetapi tidak ada.

"Kakaaak....." teriak Suntre seraya berlari.

"Ada apa, Suntre? Suntre bermimpi?

"Suntre takut, Kak."

"Jangan takut. Mimpi itu bunganya orang tidur."


Sumber : https://www.detik.com/jogja/budaya/d-7481894/20-cerita-dongeng-anak-sebelum-tidur-yang-lucu-dan-mendidik.