Memetik Pucuk Pakis
Memetik Pucuk Pakis
(sumber: buku Kisah Dua Putri dan Si Raja Ular oleh Dwi Pratiwi)
Suasana pagi di Kampung Tamakuri diramaikan oleh kokok ayam. Namun demikian, para petani belum banyak yang beraktivitas di luar. Kepulan asap tampak putih, membubung menuju langit, hampir memenuhi penjuru Kampung Tamakuri.
Hal itu menandakan bahwa para penduduk pinggir Sungai Kowera itu sedang memasak untuk sarapan dan untuk bekal mereka pergi ke ladang. Mereka memasak papeda.
Papeda adalah makanan pokok masyarakat Tamakuri, Papua, sebagai pengganti nasi. Papeda terbuat dari sagu. Masyarakat Tamakuri percaya bahwa setelah makan papeda, badan mereka menjadi sehat dan kuat.
"Suntre, makan papeda dulu," kata Sasandewini.
"Baik, Kakak," jawab Suntre. "Nenek sudah makan, Kak?" lanjutnya.
"Pertama, Suntre. Sebelum kita makan, nenek harus sudah makan terlebih dahulu."
"Oh, baiklah. Oya, Kak, kita jadi memetik pucuk pakis ke hutan, Kak?"
"Ya, tentu. Jangan lupa membawa noken."
Selesai sarapan, dua gadis itu bersiap-siap ke hutan. Tidak lupa Sasandewini dan Suntre berpamitan kepada sang nenek.
"Jangan jauh-jauh masuk ke dalam hutan, cucuku," kata sang nenek melepas kedua cucunya.
"Baik, Nek," jawab Sasandewini dan Suntre serentak.
"Pulanglah sebelum matahari terbenam," lanjut sang nenek.
"Baik, Nek. Kami akan segera pulang," jawab Sasandewini.
Setelah mencium tangan sang nenek, Suntre dan Sasandewini berangkat. Mereka berjalan ke arah timur. Suntre dan Sasandewini berjalan penuh semangat menuju hutan. Langkahnya tegap seperti tentara.
Noken yang tersangkut di kepala Suntre dan terjurai ke belakang siap menampung daun pakis. Meski sedikit usang, keranjang atau tas tradisional masyarakat Papua yang terbuat dari serat kayu tersebut tetap menjadi wadah kebanggaan mereka. Umur noken itu lebih tua daripada usia mereka.
"Noken ini bagus, ya, Kak," kata Suntre sambil mengelus-elus noken.
"Ya, noken ini buatan nenek kita, lho," jawab Sasandewini.
"Kuat sekali, Kak. Kita tidak bisa membuat yang seperti ini, Kak."
"Bahannya juga susah kita dapat, Suntre. Kita belum tentu juga telaten membuatnya."
"O, begitu," jawab Suntre pendek.
Udara terasa kering. Rumput-rumput kering, pepohonan meranggas, serta tanah-tanah retak terlihat tabah menanti datangnya titik-titik air. Kemarau panjang tahun ini telah mengurangi kesegaran Lembah Tamakuri di Waropen. Sesekali Sasandewini menengok ke belakang, melihat adiknya yang berjalan mengiringinya.
Perjalanan dua gadis ini sudah sampai di hutan yang lebat. Sasandewini dan Suntre berjalan sambil mengamati loncatan burung-burung dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Cuiit ... cit... cuit... cit... cit..."
"Kek... kek... kuek... kek... kek"
"Cuit... cit... cuit..."
Kicau burung bersahutan seakan menyapa Suntre dan Sasandewini.
"Cepat sedikit, Suntre."
"Kakiku mulai berat, Kak," sahut Suntre, "bagaimana kalau kita berhenti dulu."
"Ya, sudah. Kita istirahat di bawah pohon itu, yuk!"
Dua gadis itu duduk di bawah pohon. Rumput kering dan semak belukar di sekitar pohon menjadi teman mereka melepas lelah. Sasandewini membuka bekal yang dibawanya dari rumah.
"Suntre, lihatlah kupu-kupu kecil itu."
"Kenapa, Kak?"
"Dia pasti sedang mencari bunga. Musim kemarau begini, susah mencari bunga."
"Kasihan, ya, Kak," Suntre beranjak dari duduknya. Ia ingin menangkap kupu-kupu tersebut.
"Jangan ditangkap, Suntre."
"Sayapnya bagus sekali, Kak," jawab Suntre sambil mengejar kupu-kupu.
"Jangan, Suntre. Biarkan mereka terbang bebas."
"Kak, serangga apa itu yang sayapnya panjang?"
"O, itu namanya capung."
"Ayo, kita ke arah sana!"
"Kakak, kita baru istirahat sebentar, sekarang jalan lagi."
"Hari sudah siang, Suntre. Jangan sampai nanti kita pulang terlalu malam."
"Berapa lama lagi kita akan sampai, Kak?"
"Sebentar lagi, Suntre," kata Sasandewini sambil menggandeng tangan adiknya.
"La ... la ... la ... la ...," Suntre bernyanyi sambil berlari-lari kecil mengimbangi langkah kakaknya.
Dua gadis itu melanjutkan perjalanan. Mereka sedikit mempercepat langkahnya. Onak dan duri tidak mereka hiraukan. Ranting-ranting kayu yang jatuh menghalangi jalan dengan cepat mereka singkirkan.
Jalanan yang keras dan terbelah-belah karena kekeringan tidak membuat kaki kecil dua gadis itu berhenti melangkah. Jalan setapak menjadi saksi langkah kecil mereka. Semangat mereka sekeras baja, pantang menyerah.
Semangatnya telah mengalahkan rintangan yang ada. Sasandewini dan Suntre pun memasuki Hutan Kowera. Mereka tidak berani masuk terlalu jauh, takut tersesat.
"Hmmm, pakis ...," guman Sasandewini.
"Daun pakis muda sangat lezat jika disayur santan," kata Suntre.
"Digulai, maksudnya, itu sayur kesukaan kita, Suntre."
"Iya, benar. Digulai."
"Nenek kita sangat pandai masak gulai pakis," kata Sasandewini.
"Kita harus belajar memasak kepada nenek," lanjutnya.
"Siaaap! Aku ingin menjadi ahli masak!"
"Bagus! Hati-hati, Suntre. Jangan sampai jatuh."
"Baik, Kak," jawab Suntre pendek.
Pakis termasuk tumbuhan paku. Pakis banyak ditemukan di hutan yang lembab. Selain di hutan, pakis juga bisa ditemukan di tebing perbukitan, merayap pada batang pohon atau batuan, di dalam kolam atau danau, serta di sela-sela bangunan yang tidak terawat.
Tumbuhan pakis sangat bergantung pada ketersediaan air. Di musim kemarau pohon pakis akan meluruhkan daunnya. Pakis akan kembali tumbuh subur pada musim hujan. Sisa-sisa daun yang masih ada itulah yang dipetik Sasandewini dan Suntre.