Aku Sayang Ayah
Saat aku terbangun, aku melihat ayah sedang kesakitan. Aku kira ayah hanya kesakitan biasa ternyata ayah mimisan. Akhir-akhir ini ayah selalu mimisan. Aku pernah bertanya kepadanya 'mengapa ayah selalu mimisan dan akhir-akhir ini aku lihat ayah selalu kesakitan jika sebelum mimisan?' dan ia hanya berkata 'ayah kecapean makanya mimisan'. Ayah masih menganggap aku masih kecil, padahal aku sudah 1 SMA. Karena keadaan ayah yang selalu mimisan, aku ingin mengetahui penyebab ayah selalu mimisan.
Pertama aku tanya ke teman-teman di sekolah. Kata temanku itu bisa saja mimisan itu karena kecapean. Jawaban teman-temanku sama seperti ayah. Tetapi aku masih tidak percaya akan jawaban itu. Lalu aku browsing di internet. Aku membaca dengan teliti. Hahh…! aku terkejut saat tertera kata 'Kanker'. Aku terdiam dan tidak bersuara, hanya air mata yang mengalir di pipiku. Di dalam hatiku berkata 'mengapa ini semua terjadi pada ayah?. Engkau telah mengambil ibuku dan adikku saat kecelakaan. Sekarang engkau tanamkan penyakit pada ayahku. Dia adalah satu-satunya keluargaku yang amat ku sayang'. (Allahuakbar allahuakbar…! adzan memanggil kita untuk shalat maghrib). 'Alhamdulillah.. sudah adzan'. Aku bergegas mengambil air wudhu, aku ingin berdo'a meminta pertolongan dan meminta maaf karena aku sudah menyalahkan engkau sebagai pencipta. Setelah shalat dan berdo'a, aku membaringkan badan di kasur. Aku masih memikirkan ayahku, tapi soal penyakit kanker itu belum ada bukti bahwa ayah terkena penyakit kanker. Aku tidur terlelap saat memikirkan semua itu.
Keesokan harinya, aku bangun sangat pagi sekali karena aku ingin tahu ayah akan kesakitan lagi atau tidak. Aku siapkan sarapan di meja makan, siapkan pakaian kerjanya, kebetulan papahku seorang photographer jadi aku hanya siapkan jaket. 'dug, aw… aduh siapa yang naruh tiang di sini sih?' terdengar seseorang di dekat kamar ayah dan sedang berjalan kearah meja makan. Ternyata itu ayah 'eh ayah sudah bangun, sarapan yuk..?' 'sebelum kamu bangun ayah sudah bangun duluan cuman ayah meneruskan pekerjaan ayah untuk mengedit foto'. Aku terdiam dan berkata dalam hati 'jadi aku tidak tahu apa yang terjadi saat ayah bangun'. Tiba'tiba ayah mengagetkan aku 'hey..' Aku sangat terkejut dan ayah berkata 'ayah ingin bertanya kepadamu'. Lalu aku menjawab 'nanya apa ayahku sayang?' 'siapa sih yang naruh tiang di dekat kamar ayah?' 'ih ayah kirain serius, aku sengaja tidak mengambil nasi untuk mendengarkan pertanyaan ayah. Lagian siapa yang bikin rumah ini?. Memangnya ayah tidak melihat ada tiang di deket kamar ayah'. setelah sarapan, aku mencium tangan ayah dan berpamitan kepada ayah dan ayah pun mengantarkan aku sampai ke ruang tamu.
Sesampainya aku di pintu rumah aku melupakan sesuatu 'oh aku lupa bawa payung, sekarang kan musim hujan pasti pulang sekolah hujan' saat aku membalikan badan untuk mengambil payung aku melihat ayah sedang membersihkan sesuatu di hidungnya memakai tisu. Aku khawatir ayah mimisan dan aku langsung panik dan bertanya 'ayah mimisan lagi ya?' . ayah berkata 'tidak sayang, tadi ada kotoran di hidung ayah. Udah sana berangkat nanti telat'. Tapi aku tetap tidak percaya. Untuk kedua kalinya aku mencium tangan ayah dan berpamitan kepada ayah. Dan aku langsung berlari keluar rumah untuk memberhentikan kendaran umum.
Di dalam kendaraan umum aku mengepalkan tanganku. Saat aku melihat tanganku. Ada warna merah seperti cairan yang menempel pada telapak tanganku. Aku teringat kembali, saat ayah membersihkan sesuatu di hidungnya. Ternyata tadi ayah benar'benar mimisan, berarti ayah bohong padaku. Aku setengah memikirkan ayahku di dalam kendaraan umum. Sampai sekolah pun aku masih memikirkan ayahku.
'aku pulang' teriakku setiba di rumah. Aku merasa heran mengapa ayah tidak menjawab seruanku. Biasanya sepulang sekolah ayah sudah ada di rumah untuk menyiapkan makan siang, tapi saat itu ayah tidak seperti biasanya. Dari kejauhan ada selembar kertas dan amplop yang sudah di buka di meja makan. Aku heran tidak biasanya ada surat di meja makan. Karena aku merasa curiga, aku segera mengambil kertas dan amplop itu di meja makan. Aku baca ada nama ayah yang tertera dalam amplop itu dan menunjukan ayah positive terkena penyakit kanker. Hatiku terguncang saat membaca dan tiba'tiba ayah keluar dari kamar tidurnya. 'ayah?' air mataku mengalir. 'iya apa sayang?' sambil membelai rambutku. Dan ayah melihat aku memegang kertas itu. 'sini ini punya ayah, kamu jangan ngurusin urusan ayah'. Di situ aku kesal karena ayah berkata begitu kepadaku 'ayah sudah tidak menganggap aku sebagai putri ayah?' 'maksud kamu?' 'aku itu putri ayah… mengapa ayah menyembunyikan penyakit ayah?' keluar air mataku. Ayah terdiam mendengar kata'kataku dan ayah berkata 'ini baru kanker, sayang' dengan santai ayah menjawab. 'apa…! memang ayah ingin mengoleksi berapa penyakit sih?' bentakku. Ayah pun terdiam kembali dan menitikan air mata. Aku tidak kuat melihat ayah menitikan air mata. Lalu aku pergi keluar rumah meninggalkan ayah.
Aku duduk di taman dekat sekolah dan sedang memikirkan tentang ayah 'mengapa ayah menyepelekan penyakit tersebut?' dalam benakku. Sepertinya aku sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
Setiba di rumah aku mendapatkan surat dari tukang post. Ternyata surat tersebut dari rumah sakit. Nama rumah sakitnya seperti yang ada di surat yang aku baca tadi. 'ya allah sepertinya surat yang kedua ini membuktikan bahwa penyakit ayahku memang sudah parah' dalam benakku. 'sayang masuk yu' panggil ayah. 'ayah ini surat dari rumah sakit' kuberikan surat itu kepada ayah. 'apa ini sayang?' sambil ayah membuka surat itu. Lalu ayah membacanya dan tiba'tiba ayah menitikan air mata. Aku yakin bahwa ayah menitikan air mata karena penyakitnya sudah parah.
Lalu aku pergi menuju kamarku sambil menangis dan tiba'tiba ayahku memanggilku. 'sayang…' kubalikan badanku dan menghapus tetesan air mataku 'ada apa ayah?' 'ayah ingin memberitahukan tentang surat ini, ayah tidak ingin menyembunyikannya' jelas ayah. Aku bersiap untuk mendengarkan perkataan ayah 'huh.. bismilahirrahmanirrohim' ayah mencoba menjelaskan 'di dalam surat ini tertera bahwa ayah tidak mengidap penyakit kanker'. Aku pun terkejut dan langsung mengambil surat itu dan kubaca 'ayah apakah surat ini benar?' 'iya sayang… surat ini benar. Surat pertama salah.' 'lalu mengapa ayah mimisan?' aku masih penasaran dan bertanya lagi. 'itu kecapean sayang' ayah mencoba menjelaskan lagi. 'ayah.. aku bersyukur ayah tidak mengidap penyakit kanker. Aku tidak mau di tinggal ayah' 'iya sayang…' ayah memelukku.