Anak Hujan

Matanya menyipit memandang terik matahari, kaki kecilnya berjalan lincah, hatinya bergeming penuh harap. Ketika sampai di rumah reot mirip gubuk matanya melebar mencari-cari sesuatu. Dia berjalan dan mengambil sesuatu itu di bawah batu sebesar buah melon, lalu memasukkan temuannya itu ke lubang gembok. Anak kecil bertubuh kurus itu bernama Irwan, usianya baru 11 tahun. Irwan tinggal sendiri di rumah gubuknya, ibunya meninggal dua tahun lalu. Ayahnya pergi entah kemana sejak ia kecil.

Hidupnya kesepian namun diselimuti ketabahan dan kesabaran. Hidupnya keras serba kekurangan, tapi tak pernah patahkan semangatnya belajar. Dia sekolah dengan rajin walaupun terkadang dia merasa hidup ini tak adil.

Dia duduk di kursi bambu sebagai ruang tamu. Tiba-tiba air mata menggenang di kelopak mata. Ia teringat ibunya, ketika pulang sekolah ibunya selalu memasakkan untuknya walaupun hanya tumis kangkung, sayur nangka ataupun sayur asam. Sekarang semua itu tak lagi ada. Diambilnya kayu kering dan tangannya dengan lincah menggesek korek api lalu dimasukannya ke dalam kompor yang terbuat dari tanah. Setelah api sudah menari-nari panci berisi air dia taruh di bibir kompor tanah. Setelah air bergejolak dia memasukkan daun bayam dan membumbuinya dengan garam. Ia menunggu lagi di kursi bambu. Ia pun tertidur.

'Kebakaran-kebakaran…' teriak orang-orang. Irwan membuka matanya, asap mengepul memenuhi bilik-bilik rumahnya. Dia baru sadar kalau dia tertidur. Dia berlari keluar sambil sempoyongan. Rumahnya tengah dilalap si jago merah.

Warga berusaha memadamkan api tersebut, namun sayang setengah rumahnya telah hangus. Bahkan buku-buku sekolahnya tinggal abu.

Pak RT mengajak Irwan tinggal di rumahnya. Namun rupannya Irwan tidak mau. Irwan teringat kata-kata ibunya. 'Jangan tinggalkan rumah apapun yang terjadi,' lamunannya terbang kemana-mana.

'Baiklah Irwan, kalau kau tidak mau tinggal. Kamu yang tabah ya' Ucap pak RT, lalu warga meninggalkannya sendiri.


Ia melihat sekeliling rumah. Hangus dan tak berupa. Kakinya lemas dan jatuh bersimpuh. Tas sekolah, seragam sekolah, dan buku-bukunya hancur. Dia berfikir dirinya akan berhenti sekolah untuk sementara ini. Ia akan mencari uang untuk membeli peralatan sekolah. Sontak tiba-tiba hujan turun begitu deras.

'Hujan kenapa kau tak datang ketika api itu masih melalap rumahku..' teriaknya sekeras mungkin, suaranya bersahutan dengan guntur yang menyambar. Lalu menangis lagi dan terisak-isak. Menyesal akan apa yang sudah terjadi.


Dia beranjak bangun. Dilihatnya payung warna hitam di sudut rumah yang belum dimakan si jago merah. Dia mengambilnya dan pergi membelah derasnya hujan. Dia tak tahu kakinya berjalan kemana. Sesekali dia berhenti ketika guntur kembali menyambar. Namun kakinya tetap berjalan, berjalan dan berjalan. Sampai di depan Mall besar. Tubuhnya terasa kerdil seraya gedung megah itu berdiri kokoh di hadapannya. Dia tak beranjak tetap saja memandangi megahnya gedung mall itu. tiba-tiba…

'Tiiinnn.. tiiinnn…' sebuah mobil mewah menginginkan dirinya sedikit minggir. Dia berjalan sedikit menjauh. Lalu kaca mobil terbuka, perempuan bergincu tebal di dalamnya. Perempuan berusia sekitar 29 tahun itu mengayunkan tangannya kepada Irwan, dengan takut-takut Irwan mendekat. Fikir Irwan dirinya akan dimarahi karena berdiri di tengah jalan. Irwan akan menjelaskannya.

'Nak antarkan seya sampai di teras Mall..' Ucap ibu itu. Irwan ternganga. Ia benar-benar tidak tahu maksud dari ibu cantik itu. Ibu itu membuka pintu mobilnya, namun Irwan tak juga mendekat.

'Kamu sewakan payung itu kan?' ucap Ibu itu lagi. Irwan mengangguk dan memberikan payungnya, dia berdiri sambil membiarkan tubuhnya basah kuyup.

'ets… sini-sini jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit.' kata ibu cantik itu, ia keluar dari mobil dan memayungi Irwan, lalu berjalan sejajar.

'Kamu masih baru ya jadi ojek payung?' tanyanya.

'Saya tidak tahu tentang ojek payung buk,' Jawab Irwan

'Berati kamu bukan Ojek payung dong.. kenapa hujan-hujan berdiri di depan mall? Ibumu tidak marah kah?' Ibu itu terlihat penasaran dan menghentikan langkahnya. Irwan juga berhenti.

'Ibuku sudah meninggal buk dua tahun lalu, rumahku baru saja kebakaran saat aku hendak masak. Aku cari uang untuk makan buk.' Jelas Irwan berbata-bata.

'Kamu masih sekolah?'

'Iya buk, saya sekolah di SDN 05 Bambu Raya, saat ini saya masih kelas V buk.. tapi saya mutusin untuk berhenti sampai saya bisa membeli peralatan dan seragam sekolah yang terbakar buk' Jelas Irwan jujur, bukan mengharap belas kasihan Ibu cantik itu. Penjelasan dirasa ibu itu sudah cukup, Ibu itu berjalan lagi sampai di teras Mall. Terlihat seorang anak kecil berseragam TK dan pengasuhnya keluar dari pintu mall.

'Itu anak saya.. namanya Lovina, namamu siapa dan kamu tinggal dimana?' tanya ibu itu lagi, sambil menunggu anaknya menghampiri.

'Nama saya Irwan buk, saya tinggal di kampung Mawar Rt 02 Rw 1, kampung sebrang sungai buk..' Jelas Irwan polos.

'Ya udah antar kami bertiga ke mobil lagi yaa' ucap Ibu cantik itu. menggendong Lovina dan menggandeng pengasuh Lovina.


Irwan membiarkan tubuhnya kehujanan. Sekarang dia paham tentang Ojek Payung. Orang yang bekerja menyewakan jasa payung kepada orang-orang yang membutuhkan saat hujan lebat. Setelah anak dan pengasuh masuk ke dalam mobil, ibu itu masih di luar. Lalu memberikan payung itu kepada Irwan dan masuk ke dalam mobil. Di balik kaca mobil, ibu itu mengeluarkan dompet tebalnya.

'Sini nak,' serunya. Irwan mendekat. Dia tahu kalau dirinya akan mendapat upah.

'Ini upah untuk nak Irwan, ini untuk makan nak Irwan, dan yang ini untuk membeli peralatan sekolah yaa, ibu sangat berterimakasih jasanya' Jelas sang Ibu sambil memberikan uang Rp 10.000, Rp 50.000 dan Rp 200.000. Irwan menerima dengan gemetar lalu bersujud di tengah hujan lebat, diciumnya paving penuh air. Lalu mengucapkan terimakasih dan pergi dengan senang. Pergi entah kemana. Pergi di balik lebatnya hujan.


'Mama.. tadi itu pengemis yaa?' tanya si kecil Lovina.

'Bukan Lovina sayang.. dia hanyalah anak hujan.. anak yang mendapat uang dari hujan, bukan dari Ibunya.. makanya Lovina sayang harus bersyukur selagi masih punya mama.. masih di kasih uang sama mama..' jelas ibu itu kepada anaknya.

'Apa anak Hujan itu tidak punya rumah, mama?'

'Punya sayang, tapi rumahnya kebakaran.. Lovina jangan suka mainan api yaa, kalau rumah Lovina kebakar, Lovina bisa saja jadi Anak Hujan' jawab sang Ibu

'ohh kasihan ya mama..' Ucapnya lagi

'Iya sayang, kita harus saling memberi kepada orang-orang yang membutuhkan. Anak hujan tadi adalah anak yang sabar dan tabah sehingga mama kasih dia hadiah. Kalau Lovina jadi anak yang sabar Lovina juga akan mendapat hadiah..'

'Hadiah dari mama..?'

'Dari Tuhan sayang..' Lovina memeluk Ibunya, mencium pipi ibunya seolah-olah takut kehilangan ibunya.

'Lovina tidak mau jadi anak hujan mama.. Lovina akan sayang sama mama selamanya, Lovina juga tidak mau mainan api, Lovina juga akan sabar ketika menunggu mama kerja, dan Lovina akan memberi orang lain pakai uang tabungan Lovina.. Lovina janji ma.. semoga anak hujan tadi juga mendapat hadiah dari Tuhan, bukan dari mama saja… Lovina sayang mama.. emuuuuahhh…' Lovina mencium ibunya lagi, ibunya bangga dengan penjelasan anaknya yang masih TK itu.

Hujan semakin lebat Ibu cantik itu memeluk anaknya dengan hangat, ia berencana ke rumah anak hujan itu bersama Lovina… Esok.


TAMAT