Tukang Ramal karya Agus Noor
Kita belum lagi genap tiga belas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warna-warni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.
Tukang ramal itu menyeringai menatap kita.
“Kalian memang sahabat yang luar biasa,” katanya, “karena menyintai perempuan
yang sama.” Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu menarik
tanganku. “Dan kau, kau akan mati karena tabrak lari.”