Air Mata Jilbab
Malam itu belum begitu larut, masih pukul sembilan. Saat itu, di sebuah kamar, Aliyah sedang mengoreksi soal-soal yang dikerjakan muridnya.
“bagus Regina, ini nilai kamu”
Aliyah menyodorkan buku bersampul biru itu pada muridnya. Ada rasa bangga pada wajah Aliyah. Lagi-lagi Regina mendapat nilai 10.
Regina Silvina, siswi SMP Kelas 2 yang bisa dikatakan sangat cerdas. Sejak kecil ia sudah menampakkan kecerdasannya. Usia 4 tahun ia sudah pandai membaca, menulis dan berhitung. Prestasi akademiknya begitu cemerlang. Ia selalu meraih gelar juara umum di Sekolahnya. Ia juga sering menjuarai berbagai lomba cerdas cermat dan olimpiade sains mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi hingga tingkat nasional. Beberapa bulan lagi iapun rencananya akan mengikuti olimpiade Matematika tingkat internasional yang akan diselenggarakan di Jepang.
“wah dapat 10, makasih banyak ya kak. Ini semua berkat kakak”
Regina Silvina, gadis remaja yang baik, sopan dan santun. Kekayaan harta dan kecantikan fisik tak pernah membuatnya tinggi hati. Keramahan, senyuman, dan rasa hormat selalu ia tujukan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Meskipun baru 14 tahun, namun cara pandangnya sangat dewasa.
Regina Silvana, anak semata wayang. Kesayangan dan kebanggaan orang tuanya. Tumbuh menjadi anak yang taat dan patuh. Makanya, orangtuanya senantiasa menuruti kemauannya. Termasuk menuruti keinginan Regina untuk diajarkan les privat oleh Aliyah, walau sebetulnya mereka kurang setuju.
“baiklah Regina, malam ini belajarnya kita akhiri dulu, sudah jam sembilan, kakak harus ke rumah Sarah” kata Aliyah sambil membantu Regina merapikan buku dan kertas yang berantakan. Regina merasa sedih, satu jam kebersamaannya dengan guru sekaligus kakak kesayangannya terasa sangat singkat.
Tiba-tiba ponsel Aliyah berdering. Sebuah SMS masuk.[ka Aliyah, hr ni aq ga les dulu. Ada kepentingan mendadak.. *Love Sarah*]
“dari siapa ka?” tanya Regina penasaran
“dari Sarah, hari ini katanya dia ada kepentingan, jadi ga les dulu”
“Sungguh? Kalau begitu kakak jangan pulang dulu. Kita cerita-cerita dulu ya! Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada kakak” pinta Regina Aliyah mana mungkin menolak permintaan murid yang disayanginya itu. “iya gina, apa yang mau kau tunjukkan?”
“Asyik! Tunggu dulu ya, ka!”
Regina kemudian menuju lemari pakaiannya yang besar dan penuh dengan baju, sepatu, tas dan barang lainnya. Diraihnya sebuah kotak berwarna biru. Kemudian ia segera masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya.
“sabar ya ka, tunggu sebentar”
Aliyah agak aneh melihat tingkah Regina malam itu, ia seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru. Walau Regina kerap manja pada Aliyah, tapi Aliyah baru melihatnya seriang itu.
Tak lama kemudian. Regina keluar dari kamar mandinya.
Seorang gadis sedang berdiri anggun dengan gamis putihnya. Jilbab panjang yang juga berwarna putih terurai panjang menutupi dadanya. Sebuah senyuman melengkung indah pada wajah indonya yang saat itu nampak bersinar.
.. Subhanalloh Cantik..
Aliyah kaget dan terpana
“bagaimana menurut kakak?” tanya Regina masih dengan rasa riang dihatinya.
“seperti bidadari” aliyah menjawab singkat, tampaknya ia masih tertegun.
“saat melihat busana ini di pajang di sebuah butik, aku tiba-tiba ingat kakak. Aku membelinya untuk kakak sebagai hadiah kakak tempo hari. Setelah melihat-lihat ternyata ada ukuran yang pas denganku. Aku iseng saja membelinya. Namun, saat aku memakainya, aku mendapat perasaan aneh” Regina bercerita dengan antusias.
Regina kemudian duduk mendekati Aliyah yang kelihatannya masih tertegun. “kak, aku merasakan perasaan itu”
“ya, aku merasakan perasaan itu. Ketika kain ini membalut tubuh dan kepalaku, ada sebuah kenikmatan yang tak terhingga. Kakak juga merasakannya kan?” Nada Regina menjadi serius.
“aku damai dalam balutan kain ini, aku merasa terlindungi oleh kain ini, aku nyaman oleh lembutnya kain ini. Kain ini berbeda dengan kain-kain biasa. Kain ini memiliki kekuatan. Kain ini begitu mulia. Mungkinkah karena kain ini digunakan untuk melaksanakan perintah-Nya, ka?”
Aliyah makin terperanjat, ia sama sekali tak menyangka kata-kata itu keluar begitu lancar dari bibir mungil seorang Regina.
“ka.. rasanya aku tak sanggup jika harus melepas ini. Pakaian ini adalah darah yang telah mengalir ke seluruh kapiler dalam tubuhku. Aku akan mati jika berpisah darinya”
Aliyah makin terharu, lagi-lagi ia tak percaya bahwa reginalah yang sedang berbicara.
“Aku yakin kakak mengerti perasaanku saat ini. Aku sedang jatuh cinta. Aku jatuh cinta dengan jilbab ini” suara Regina bergetar menampakkan kesungguhan.
Aliyah pun merasakan keseriusan, kejujuran dan ketulusan perkataan Regina.
“tapi..”
Wajah Regina mendadak menjadi sedih. Matanya terlihat berkaca-kaca. Suaranya sedikit tertahan dan terbata menahan sesak di dada.
“tapi.. Tapi aku… Tapi aku tak boleh memakainya terus. Karena aku.. Karena aku bukan seorang Muslimah seperti kakak” meledaklah tangis Regina. Air mata tak kuasa lagi ia bendung, sesak tak mampu lagi di tahan, kepedihan tak dapat lagi ditutupi.
“tolong aku kak… kenalkan aku pada Tuhan yang telah mewajibkan jilbab ini, kenalkan aku pada Tuhan yang memberikan rasa nikmat ketika berjilbab, kenalkan aku! Kenalkan aku pada Tuhanku, ka..”
Mutiara air mata mengalir deras dari celah matanya, kemudian ia menutup wajahnya dengan jilbabnya. Kini jilbab itu basah dengan air mata, air mata cinta, air mata rindu. Cinta dan Rindu seorang makhluk kepada Sang Penciptanya.
Air mata itu bukan hanya milik Regina, jilbab itu juga menangis. Menangis karena bangga ada seorang gadis non muslim yang mencintainya, di mana banyak para muslimah sendiri yang mengabaikkannya.
Aliyah segera memeluk Regina. Batinnya pun turut menjerit saat itu. Hatinya tak henti berdzikrulloh. Aliyah bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus diam saja menganggap ini tak pernah terjadi dan berharap Regina nanti akan berubah pikiran kembali. Mungkin ini hanya sekedar gejala psikis normal seorang anak menuju remaja.
Tapi.. Aliyah kemudian mengingat kembali memorinya dengan Regina.
Regina Silvana, gadis khatolik yang sejak hari pertama belajar dengannya sudah menunjukkan tanda ketertarikannya kepada islam. Seiring waktu, ia sering bertanya tentang Alloh dan Rosululloh, tentang iman dan islam, tentang hari kiamat, tentang surga dan neraka, tentang kisah para Rosul dan tentang jilbab.
Regina Silvana, gadis khatolik yang kerap ia pergoki sedang menangis saat mendengar adzan dan lantunan al-qur’an.
Aliyah yakin, ini pasti hidayah. Sesuatu yang sangat mahal dan berharga ini telah dianugrahkan Alloh kepada-Nya. Cahaya hidayah telah menyapa hatinya. Berdosalah jika ia tak membantunya untuk menumbuhkan bibit hidayah itu menjadi pohon yang kuat dan kokoh.
Namun lagi-lagi Aliyah teringat…
Regina Silvana, putri tunggal pendeta khatolik yang kabarnya juga seorang misionaris yang sering memurtadkan saudara-saudara muslimnya. Kiamat pasti terjadi pada orangtuanya jika mengetahui hal ini. Aliyah pun takut mereka akan melakukan berbagai cara untuk meyakinkan putrinya agar kembali pada agama sebelumnya.
Aliyah berfikir akan merahasiakan ini dari siapapun sampai waktu yang tepat, sampai aqidah anak ini benar-benar kokoh. Lagi pula jika ini sampai diketahui orang tua Regina, bisa saja mereka akan menuduh Aliyah melakukan pelanggaran hukum, pemaksaan beragama pada anak di bawah umur yang masih hak orang tuanya. Tiba-tiba Aliyah bertambah benci pada hukum yang bukan berdasarkan hukum Alloh ini.
“kak, dengarkan persaksianku” kata Regina sambil menyeka air matanya. Suaranya masih sumbang, namun dengan jelas ia lafadzkan..
“ASYHADU AllAA ILAAHA ILLALLAAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAH, aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Alloh, dan Muhammad Utusan Alloh”
kalimat syahadat telah Regina ucapkan dengan benar, tegas, dan sepenuh jiwa raganya.
“Subhanallah.. Allohu Akbar” Aliyah tak kuasa lagi menahan tangis dan haru. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang indah.
“ku mohon, tolong aku ka”
Aliyah masih dalam tangisannya. Batinnya berbicara, Oh Regina…
Aku akan menolongmu, sekuat tenagaku, aku tak peduli lagi penjara atau hukuman dunia lainnya. Aku tak akan takut lagi. Aku akan berjuang karena Robb-ku dan Robb-mu, Alloh Robbul’alamiin.
Aliyah kemudian teringat sebuah doa yang sering di baca bersama sahabat-sahabatnya ketika halaqoh.
‘Ya Allah.. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan cinta hanya kepada-Mu. Bertemu untuk taat kepada-Mu. Bersatu dalam menyeru di jalan-Mu dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya’
‘Ya Allah abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tak pernah redup. Lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu’
‘Hidupkanlah dengan Makrifat-Mu dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu, matikanlah dalam keadaan syahid kepada-Mu. Matikanlah dalam keadaan syahid kepada-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong’
‘isy kariman, aumut syahidan’
Ya, aku punya Alloh yang Maha penolong, cukuplah Alloh bagiku. aku punya teman-teman, mereka pasti bersedia berjuang denganku, aku pun punya Ustadzah Azizah, suaminya yang seorang ustadz dan aktivis islam pasti akan membantu.
Ya! aku yakin, Aku optimis. Sabarlah Regina, kami akan berjuang. Bismillahirrohmaanirrohim
ALLOHU AKBAR.