Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo
Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.
Ia memang seorang pejuang yang pernah
berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan sebelum bangsa dan negara
ini
merdeka. Kini semua teman seperjuangannya
telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa
menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.
Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi
berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga sering meratap-ratap setiap
kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin miskin akibat
korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.
Banyak kekayaan negara juga dikuras
habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkolaborasi dengan elite
politik. Kini, semua elite politik hidup dalam
kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka.
Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.
Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri
demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat berbagai fasilitas mewah. Seperti
rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-tiba teringat
pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.
Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman
untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat bangsa yang telah tega
mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat bangsa
adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di
negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa
diajak berjuang karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik
di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.
Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas
kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian menumpas kaum pengkhianat
bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape
singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-rumah
kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air
perasan tape singkong.
Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya
mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada kaum pengkhianat bangsa. Mereka
harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih cara paling mudah
tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape
singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya
berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat
berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape singkong, lalu diminum, maka
dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum akan tertidur untuk
selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu
setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
Dokter-dokter yang menolong mereka menduga
mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka
menduga mereka mati akibat terkena santet. Pemukapemuka agama yang mencoba
menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah
banyak berbuat dosa.
6. Contoh Cerita Pendek
berjudul Persahabatan Sejati
Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap
hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita
berempat sudah bersahabat sejak kecil.
Suatu saat kami menulis surat perjanjian
persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian
botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat tersebut akan kami
buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.
Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba,
kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita berempat lulus semua.
Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah
pohon yang pernah kami datangi dan menggali tepat di mana botol yang dahulu
dikubur berada.
Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut
dan membaca tulisan yang dulu pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan
“Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”
Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan
kelulusan kami berempat.
Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu
tempat dan disitulah saat-saat yang tidak bisa aku lupakan karena aris
berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya aku dan Anis
berpacaran.
Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran
dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang istimewa untuk kami berempat. Kami pun
bergegas untuk pulang.
Ketika perjalanan pulang, entah mengapa
perasaanku tidak enak.
“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku
penuh cemas.
“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan
kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.
Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan
Nindi terjadi.
“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak
Nindi.
“Aaaaaaaaaa!!!”
Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke
dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir sampai aku
tidak sadarkan diri.
Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit
dan aku melihat ibu berada di sampingku.
“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.
“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan
Aris?” tanyaku.
“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya,
Andri dan aris tidak tertolong di lokasi kecelakaan” Jawab ibu sambil
menitikkan air mata.
Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air
mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar pernyataan ibu.
“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal
aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi kamu ninggalin aku begitu
cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.
Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke
makam mereka, aku berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua.
Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku berjanji akan selalu mengenang
kalian.
7. Contoh Cerpen berjudul
Ketika Laut Marah karya Widya Suwarna
Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa
turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan
angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang
murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani
menampakkan diri.
Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan
rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa
merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam
pada lintah darat.
Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta
di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada yang ulang tahun, dan Pak Yus
juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti para
tetangganya.
Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh
istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia
mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk makan di rumahnya.
Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti
dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.
Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus
memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000. Kalau hari ini kita
menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya
uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”
Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang
hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke
langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti
petang.
Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata
mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak
anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”
Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang
pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah suaminya. Selama ini Pak Yus
sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus masuk ke kamar dan
berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam.
Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada
cukup makanan untuk seisi desa.
Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak
Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu
mengucapkan terima kasih.
“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di
sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong adiknya bertanya. Matanya yang
besar hitam memandang penuh harap.
Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus
menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya yang besar dan berat Pak Yus
berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan
enak di rumahnya masing-masing.”
Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya
pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa
nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan panen ikan.
Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar
rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun
pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk
sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.
Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi
melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan berhasil menangkap banyak ikan.
Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan disambut oleh para
anggota keluarga dengan gembira.
Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga.
Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak
ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya masing-masing.
Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur