Hutan Merah karya Fauzia. A
Matahari
bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga
hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan
lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu
dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat
tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama
teman-temannya di sebuah sungai.
Ketika
Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia
pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi
bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu
yang sama sekali tidak Bora kenal.
“Hei,
lihat itu!”
Semua
serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk
Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal
dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka
saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan
awan putih berarakan.
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo
tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua
ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Bora!
Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai
Bora dengan belalainya..
Suasana
hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan.
Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai
panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.
Bora
panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke
mari, mencari sosok ibunya.
“Pipin!
Di mana ibuku?” tanya Bora.
“I-ibu …
ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu
Bora berada.
“Aku
harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu
berbalik untuk kembali ke sarangnya.
Namun,
sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya.
“Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Bora
menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari
sekuat mungkin menuju sarangnya.
“Bora!”
Pipin berteriak di belakangnya.
Bora
sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung
membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar
dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.
“Ibu!”
teriak Bora sekuat tenaga.
“Sedang
apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak!
Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata
seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Cepat
pergi, Bora!”
“Bora!
Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik
belalai Bora.
“Tidak
mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Jangan,
Bora!” bentak Pipin
Kraaak! Braaak!
“IBU!!
IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu
jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.
“Ayo,
Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali
lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya.
Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau
yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.