Aku dan Keegoisanku
“Aku hanya ingin berdiri saja disini, jangan ganggu aku!.”
Kalimat itu aku berikan untuk Kak Gee yang setengah jam yang lalu mengajakku beranjak pergi dari tempat ini, tempat yang membuat aku semakin ingin lama berdiri disini. Kak Gee memegang pundakku sambil ikut menatap sebuah rumah terakhir. Sebenarnya aku ingin menangis sederas mungkin, namun kutahan sebisa mungkin. Bukan karena aku ingin dibilang kuat, tegar dan sebagainya tapi karena aku malu. Terlalu sering aku menutup mata selama ini bahwa ada seseorang yang sudah lama merindukanku, menginginkanku memanggilnya dan memeluknya. Mama.
Hari itu lagit nampak mendung, aku dan Kak Gee sedang menonton serial kartun kesukaan kami di ruang keluarga sambil ditemani sekotak coklat dan segelas susu coklat di meja. Namun tiba-tiba aku dan Kak Gee terkejut ketika melihat Papa membawa koper besar seperti ingin pergi jauh. Papa menatap aku dan Kak Gee dengan mata yang sembab ketika Kak Gee menanyakan maksud papa seperti itu lalu tanpa berkata dia pergi.
“Ada apa sih, Kak?” tanyaku polos.
“Kakak juga gak tau, Dek.”
Kami lalu pergi ke kamar Mama, Mama berdiri di dekat jendela sambil menangis. Aku yang saat itu masih berumur 7 tahun dibuat bingung oleh Mama dan Papa.
“Ma, ada apa sih? kok Papa pergi?” tanya Kak Gee medekati Mama.
“Nggak ada apa-apa, sayang.” Mama mencoba tersenyum dari balik air matanya yang terus mengalir itu.
“Tapi, kenapa Papa pergi dan Mama menangis?.”
“Nanti juga kamu akan tahu, sudah ya sekarang kamu bawa adikmu nonton lagi.”
“Tapi ma…”
Mama tersenyum, Kak Gee mengerti kalau Mama tidak ingin diganggu dulu. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena memang aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat itu.
Keesokan harinya Papa datang ke rumah dengan membawakan aku mainan kesukaanku. Dari balik pintu kamar Mama, aku mendengar Mama dan Papa sedang bertengkar hebat. Ada 1 kata yang membuatku penasaran. Selingkuh. Papa mengatakan bahwa Mama sudah jelas selingkuh ketika Papa sibuk kerja. Itu yang sedikit aku dengar. Aku berlari menuju Mbok Laila yang sedang masak di dapur.
“Mbok!” Panggilku dengn suara kencang sehingga mengaggetkannya.
“Astagfirullah den Gio, ada apa panggil mbok keras begitu?”
Dengan penuh kepolosan aku bertanya.
“Selingkuh itu apa sih, mbok?”
Mbok Laila langsung diam, dia nampak kebingungan menjawab pertanyaanku.
“Mbok jawab dong!”
“Eh iya den, mmm maaf Mbok nggak tahu selingkuh itu apa.”
“Masa Mbok nggak tahu? Mbok bohong ya?”
“Nggak den Mbok nggak bohong, memangnya siapa yang bilang begitu?”
“Papa Mbok yang bilang itu ke Mama.”
Mbok Laila kembali diam.
“Ya udah kalau Mbok nggak tahu nanti aku tanya Kak Gee saja.” Kataku sambil melangkah pergi ke kamar.
Pagi harinya saat sarapan pagi, aku menanyakan arti selingkuh itu pada Kak Gee. Kak Gee kaget dengan pertanyaanku apalagi ketika aku menjelaskan alasanku menanyakan hal itu. Dan sepertinya kakakku itu tidak mengetahui artinya sama denganku, dia hanya mengangkat pundaknya sambil terus memasukkan roti bakar selai nanas ke mulutnya itu.
Sudah beberapa hari ini Mama berdiam diri di kamar, aku pernah memintanya untuk jalan-jalan tapi dia menolak dengan alasan Mama tidak ada waktu untuk sementara ini. Padahal yang aku lihat Mama tidak melakukan apa-apa selain membaca sebuah buku tebal setiap harinya. Menjelang malam aku hendak mengajak Kak Gee menonton film kartun, namun ketika aku cari di kamarnya ternyata Kak Gee tidak ada. Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan di kamar Mama. Dengan rasa penasaran aku menuju kamar Mama, betapa terkejutnya aku melihat Kak Gee memarahi Mama yang duduk di tempat tidurnya.
“Ma, kenapa mama melakukan itu? jawab Gee Ma!!.” tanya Kak Gee penuh amarah, Mama hanya menangis.
“Ma, aku memang baru 15 tahun tapi aku mengerti apa yang Gio tanyakan sama aku pagi tadi. Apa betul mama selingkuh? apa betul Mama mau menggantikan posisi Papa di keluarga ini?.”
“Gee, pertanyaan terkadang tidak butuh jawaban sayang.” Ujar Mama.
“Ma, Gee butuh jawaban Mama.” Lanjut Kak Gee, lalu dia pun pergi menuju kamarnya sambil mengusap air matanya.
Mendengar ucapan Kak Gee aku sedikit mulai mengerti. Ku tinggalkan kamar itu menuju ruang keluarga lalu menyalakan televisi.
“Halo, dengan keluarga Fatir Alamsyah disini.” Ujar Mbok Laila saat mengangkat telpon yang sedari berdering di sampingku tidak ku angkat.
“Iya betul, ada apa ya Pak? Apa??? Inalillahi wa'ina ilaihi rajiuuun. Baik baik Pak, terima kasih.” Mbok Laila menutup teleponnya, dia menatapku dan duduk di sampingku dengan mata berkaca-kaca.
“Ada apa, Mbok?”
Mbok Laila memelukku erat, tangisnya pecah seketika itu. Aku dibuat bingung olehnya.
“Yang sabar ya, Den.” Ujarnya.
” abar? kenapa sih Mbok? kenapa Mbok nangis?”
Mbok tidak menjawab pertanyaanku, dia meninggalakanku menuju kamar Mama. Aku mengikutinya sambil berlari.
“Bu, bapak bu…”
“Kenapa, Mbok?”
“Bapak kecelakaan.” Mbok menjawab dengan lirih.
Aku terkejut, Papa kecelakaan???
“Kecelakaan, Mbok? yang benar, Mbok?”
“Iya, tadi Pak Polisi menelpon dan katanya nyawa Bapak tidak tertolong. Jenazah Bapak sudah berada si Rumah Sakit.”
Mama langsung pergi tanpa mengajakku dan Kak Gee.
Keesokan harinya jenazah Papa sudah dikebumikan. Air mataku langsung melukis indah di wajahku. Kak Gee pun sama, bahkan dia sempat menolak ketika jenazah Papa dibawa ke pemakaman. Aku dengar-dengar Papa kecelakaan karena mobilnya bertabrakan dengan mobil lainnya, saat itu Papa hendak menuju rumah. Di dalam mobilnya ditemukan dua kotak mainan kesukaanku dan kesukaan Kak Gee, Polisi yang memberikannya pada Mama. Mungkinkah itu hadiah terakhir dari Papa? terakhir? ah, aku tidak ingin Papa pergi. Bukankah Papa pernah berjanji ingin melihatku sukses menjadi dokter nanti? Bukankah…? Gio kehilangan Papa, Pa.
Upacara pemakaman selesai, aku pulang namun hatiku tertinggal disana. Aku merasakan kemarahan saat melihat Mama yang nampak tidak begitu sedih ditinggal Papa.
Hari berganti hari, aku mulai menjaga jarak dengan Mama. Sekolah yang selama ini aku impi-impikan tak dibumbui rasa semangat, tujuannku saat itu adalah setelah lulus SMA aku ingin pergi jauh dari rumah tanpa memperdulikan Mama. Kak Gee beberapa kali menasehatiku agar aku bersikap melunak pada Mama, dia menjelaskan padaku bahwa bukan Mama yang membuat Papa meninggal.
Tapi seiring usiaku bertambah rasa marahku pada Mama semakin berkobar-kobar saja, gara-gara Mama selingkuh Papa pergi dari rumah.
“Gio, kasihan Mama.” Ucap Kak Gee.
“Kak, buat apa aku kasihan sama orang yang udah mengkhianati cinta Papa? kalau Mama gak selingkuh mungkin Papa gak pergi dari rumah hingga akhirnya harus bolak-balik rumah karena ingin ketemu kita.” Nada bicaraku sedikit sinis pada Kak Gee.
“Kamu itu belum mengerti semuanya, apa perlu Kakak kasih tahu kalau…”
“Gee, Mama tidak apa-apa”. Mama datang memotong perkataan Kakak.
“Kakak dengar 'kan? Mama baik-baik aja aku begini!.”
Aku benar-benar pergi dari rumah, membuka lembaran baru di luar kota. Bandung. Ya, aku pindah kesana dengan uang seadanya. Setelah berkali-kali mencari kerja akhirnya aku mendapat pekerjaan di sebuah Home Industry, waktu berlalu aku mulai melanjutkan kuliah dan mewujudkan keinginanku menjadi seorang doket ahli kanker. Aku senang menjalaninya bahkan aku disukai para pasien karena cara kerjaku yang bagus menangani mereka. Bertahun-tahun tak memberi kabar pada Kak Gee dan Mama, amarahku belum hilang seiring waktu berlalu.
Hingga pada suatu hari saat aku hendak pergi ke Rumah Sakit, kak Gee tiba-tiba saja ada di depan rumahku.
“Kakak?.”
“Ya ini aku.”
“Kakak tahu darimana aku disini?”
“Kamu gak perlu tahu itu, yang kamu perlu hanya satu hal.”
“Maksud, Kakak?”
Kak Gee mengajakku pulang ke Jakarta, dia masih merahasiakan maksud kedatangannya padaku. Dia tidak berkata apa-apa selama di perjalanan, mulutnya terkunci rapat. Saat tiba di rumah, keadaan nampak sepi. Hening. Aku menatap ke sekelilingnya ada pertanyaan di dalam hatiku, dimanakah Mama?
Kakak meninggalkanku menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. Perubahan di rumah ini tak begitu signifikan, semuanya masih sama seperti saat aku pergi dari rumah. Namun mungkin Mbok Laila sudah berhenti bekerja dari sini.
Ku telusuri setiap ruangan, aku melewati kamarnya. Ada ragu yang menyelimuti hatiku pada saat aku ingin masuk kamar itu namun rasa penasaranku mengalahkannya. Ku buka dengan pelan pintunya, tak ada siapa-siapa disana. Aku memandangi seisi kamar itu dan bertanya-tanya dalam hati kemanakah penghuni yang dulu enggan beranjak dari kamar sedikit pun kecuali saat Papa meninggal. Aku lalu menemukan sebuah buku harian di tempat tidur. Kubuka buku itu dan air mataku mengalir deras
“Anak-anakku yang sangat mama cintai, maafkan Mama yang selama ini penuh kesalahan. Ampuni Mama yang merahasiakan semua ini bertahun-tahun. Sebelum Mama benar-benar pergi, Mama hanya ingin meluruskan prasangka kalian selama ini. Mama tidak ingin kalian terutama Gio terus menerus membenci Mama. Anak-anakku, ada satu hal yang harus kalian ketahui tentang Mama. Mama, Anak-anakku yang sangat Mama sayangi, maafkan Mama yang hanya mencintai papa kalian saja tidak ada laki-laki manapun yang mengganggu hati Mama. Mama hanya tidak ingin Papa dan kalian merasa kehilangan saat Mama harus pergi, maka dari itu Mama melakukan kebohongan bahwa Mama berselingkuh. Kalian adalah harta yang paling berharga bagi Mama, Mama tidak ingin melukai hati kalian hanya karena penyakit Mama yang terus menggoroti tubuh Mama. Gee, sampaikan pada adikmu bahwa Mama sangat menyayanginya dan Mama begitu merindukannya.”
“Mama sudah pergi jauh.” Ujar Kak Gee yang tiba-tiba saja sudah ada di dekat pintu.
“Mama bilang, berjuang melawan penyakitnya itu tidak akan membuat rindunya padamu hilang. Kamu harus tahu, selama masa sakitnya Mama sangat merindukan kamu. Beberapa hari setelah kerpegianmu dia tidak mau makan sama sekali bahkan lebih sering menangis sambil melihat fotomu. Kehadiranmu di sisinya yang dia harapakan saat bertemu pagi. Dia memintaku untuk mencarimu, aku sudah mencoba mencarimu 3 hari sebelum Mama meninggal. Hingga akhirnya dia menyerah, aku tak kunjung menemukanmu. Dua hari yang lalu, sudah dua hari yang lalu Mama menyusul Papa.”
Aku memeluk Kak Gee sambil menangis.
Tak lama kemudian kami pergi menuju makam Mama, Mama dimakamkan tepat di samping makam Papa. Aku langsung duduk tak bertenaga di samping makam Mama. Air mataku mengalir sambil memeganga nisannya.
“Maafkan Gio Ma, maafkan Gio yang selama ini egois dan pergi dari rumah tanpa Gio tau kejadian sebenarnya. Maaf Ma Maaf. Gio menyesal pergi dari rumah, Gio nyesel Ma.” Aku terus menyalahkan diriku sendiri.
“Mama sebenarnya sakit apa, Kak?”
“Kanker Darah.”
Air mataku semakin deras mengalir mengingat aku yang seorang dokter spesialis kanker tapi malah acuh dan tidak mengetahui bahwa Mamanya sendiri membutuhkannya. Aku semakin merasa bersalah, aku benar-benar durhaka pada orangtuaku sendiri.
“Seharusnya kamu memang tidak pergi saat itu sebelum kamu tahu semuanya. Tapi ya sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Mama dan Papa hanya perlu doa dari kita anak-anaknya, bukan air mata yang mengalir deras setiap harinya.”
Benar kata Gee, Mama dan Papa hanya butuh doa. Tak pantas aku menangisinya terus menerus dengan penyesalan mendalam, karena itu tak akan membuat aku kembali ke masa lalu untuk lebih melihat dan mengerti.
Setelah beberapa hari aku di Jakarta aku lalu kembali ke Bandung untuk mengabdi bagi penderita Kanker, aku tidak ingin membiarkan mereka terabaikan. Namun semakin semangat merawat mereka, semakin rindu aku pada Mama. Hingga aku ada disini hari ini. Tepat setahun meninggalnya Mama, aku berdiri disini menatap kuburannya. Seakan tak peduli hujan menyelimuti tubuhku aku hanya ingin disini melepas rindu bersamanya. Dia yang bertahun-tahun aku benci dan kini ku begitu merindukannya.
Maafkan Gio Ma, Gio juga sangat mencintai Mama…