Kado Istimewa
Kado Istimewa
Oleh: Jujur Prananto
Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan
putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini
sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu
ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan
kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah
berubah.
Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak
Hargi adalah atasannya yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi
adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan
negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa
bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.
Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota
kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan
Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu
tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin
merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta.
Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru
mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti
makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam
istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak
terputuskan”.
“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya
bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan
seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau
kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah
penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan
kemiskinan dan kebodohan”.
Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan
Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah
kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau.
Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya,
Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.
Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak
betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak
kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh
untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu
Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke
stasiun kereta.
Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron
stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore
nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya
bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan
bersalam-salaman dengan Pak Gi.
Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang
kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan
setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai
Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu
banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun terlibas
oleh berputarnya roda zaman.
Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri
dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.
“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang
petugas.
Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya
saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus.
“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas
itu.
“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.
Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat
panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya,
kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya
setelah turun dari taksi sendirian.
“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya
Wawuk.
“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.
“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk
berkata dengan lembut.
“Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.
“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput
ibu di stasiun”.
“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu
takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal
persisnya tidak kamu sebut disurat.”
“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”
“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”
“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”
“Apa-apa, kok, mesti laporan.”
“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan
ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?”
“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”
“Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat,
mana yang VIP mana yang biasa.”
“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an
segala.”
“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya
itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana
perkawinan itu cuma dengar omongan kiri kanan.”
“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak
diundang?”
“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas
Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung.
Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”
“Kan bisa tanya?”
Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.
“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku
jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi
pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”