Ketika Laut Marah
Ketika
Laut Marah
Oleh:
Widya Suwarna
Sudah empat hari
nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun.
Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi
tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun
seolah tak berani menampakkan diri.
Nelayan-nelayan miskin
yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu
nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram
untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga
terpaksa meminjam pada lintah darat.
Namun, selama hari-hari
sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada yang ulang
tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa,
seperti para tetangganya.
Pada hari-hari sulit
itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk
banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk
makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar
lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.
Kini tibalah hari
kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000.
Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok
kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”
Pak Yus terdiam sejenak.
Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah
pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam
menjanjikan cuaca buruk nanti petang.
Kemudian, ia masuk ke
rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti
kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”
Ibu Yus pergi ke dapur
dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah suaminya.
Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus
masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti
petang dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap
ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa.
Siang harinya, anak-anak
makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami
Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.
“Pak Yus, apakah besok kami
boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong adiknya
bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.
Ibu Yus tersenyum sedih.
la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya yang besar
dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua
anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.”
Titi dan adiknya
tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para
nelayan akan panen ikan.
Kira-kira jam empat
petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin
bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam
yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.
Malam itu, Pak Yus dan
para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan berhasil
menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai
dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.
Pak Yus teringat pada
anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat
rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah
ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa
syukur.