Suatu Sisi Dalam Hidupmu
Suatu Sisi Dalam Hidupmu
Oleh: Andriani
Siang ini
begitu teriknya, matahari bersinar tak ada kompromi, menyengat dan membakar
bumi, begitu panasnya. Aku berjalan terseok-seok membawa satu bakul nasi, yang
harus masih panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih. Ah,
emak, kalau bukan karena perintah emak, aku tak akan mau membawa barang berat
ini. Tapi emak, emak yang memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi,
yah, siang yang panas ini aku harus mengantar pesanan emak.
Emak adalah
tulang punggung keluarga, kalau tidak ada emak mungkin aku tidak bisa merasakan
nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua yang menyenangkan. Sedangkan
bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau
tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun
menyebalkan dan aku membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak yang selalu
menderita, kadang aku berpikir, coba kalau emak jadi bapak dan bapak jadi emak,
mungkin keadaannya akan lebih lumayan.
“Aduh…”, tiba-tiba aku menabrak seseorang.
Krompyang…krompyang…krompyang,
semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung saja bakul nasi sudah kubungkus
dan kuikat rapat-rapat, kalau tidak, wah gawat, emak bisa nyanyi nih. Eh, iya,
siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya ampun!!! Kerennya,
aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan nih.
“Maaf…”,
tiba-tiba dia bersuara.
Aduh emak,
copot jantungku. Waduh, gimana ya, gawat bin gawat nih. Wah, keadaan darurat…,
cepat-cepat aku membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan kakiku, baru
beberapa langkah…
“Eh, nona,
permisi, maaf, aku tadi tidak sengaja”, katanya lagi.
“Sudahlah,
aku yang salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun berjalan
tergesa-gesa meninggalkannya.
Dari kejauhan
dia masih memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi aku tak menggubrisnya. Aku
malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis. Oh, dia, dia
memanggilku nona, hi..hi..hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku
dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak
lagi.
Ah, capeknya,
dari tadi siang aku harus membantu emak melayani pembeli. Lumayan banyak sih,
sopir-sopir bus, sopir truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap hari
dapat untung banyak, tetapi kalau aku sih, lebih baik tidak dapat uang daripada
capek, tapi gimana lagi ya?!
Setiap hari
kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu emak.
Malam hari, setelah membantu emak, aku belajar. Untungnya, aku tidak mempunyai
adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku.
Setiap aku
datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli, selalu
menanyakan bagaimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-temanku.
Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat, walaupun aku
tahu kalau emak kadang memperhatikan kadang pula tidak mendengarkan, tapi aku
peduli, karena dengan bercerita pada emak, aku dapat menumpahkan semua isi
hatiku.
Aku merasa
puas, walaupun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu, aku tak menyesal. Aku
mempunyai emak yang selalu menyayangiku dan selalu mencukupi kebutuhanku
walaupun masih kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi aku tak mau menceritakan
bapak, karena aku memang tak tau apa yang harus diceritakan, lain halnya jika
aku menceritakan emakku.
Kalau sedang
tidak ada pembeli, kadang aku duduk melamun melihat orang-orang yang
bermacam-macam bentuk jenisnya berlalu lalang. Dari orang yang berdasi dan
bersaku tebal sampai anak kecil yang tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha
Adil, diciptakannya bermacam-macam manusia, ada yang kaya, ada yang miskin,
yang kaya harus membantu yang miskin, dan yang miskin harus menghormati yang
kaya. Ah, benar-benar komplit.
Pada suatu
sisi, ada orang yang makan dengan lahap segala makanan yang terhidang di
hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku
menjijikkan juga karena lidahnya yang selalu terjulur keluar dan meneteskan air
liur. Si wanita yang mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa
memperdulikan sekelilingnya dan setelah selesai, ia memberikan makanan yang
belum disentuhnya pada anjing tersebut.
Di sisi yang
lain, ada seorang gelandangan yang mengais makanan di tong-tong sampah, jika
mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa memperdulikan
apakah makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, disantapnya dengan lahap.
Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini.
Kadang, aku
berpikir jika aku mempunyai kuasa seperti Tuhan, aku akan mengubah semua
keadaan ini. Ah, kubayangkan bagaimana jika yang kaya berubah menjadi miskin
dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya.
Adzan Ashar
menggema, seiring dengan terdengarnya suara deru mobil di luar, lamunanku
menjadi buyar. Ah, kenangan masa lalu dan akupun bangkit serta melihat dari
balik gorden jendela. Di luar sana, suamiku bersama anak laki-lakiku yang baru
pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang yang kutabrak dulu.
Aku tersenyum
terkenang masa lalu, betapa indahnya. Aku pun berjalan menyambut mereka.
Emak…, suatu
kata yang penuh arti untukku.