Kucing Yang Selalu Lapar
Kucing yang Selalu Lapar
Oleh: Lena D.
“Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam
hati. Gadis kecil itu merenung di tepi jendela sambil mendengarkan keributan
yang sedang terjadi di sebelah rumahnya.
Kiki sudah
dapat menduga siapa yang menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu! Benar
saja! Seekor kucing kecil dengan tangkas meloncat ke pagar tembok yang
memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar
memperhatikan sekitarnya. Ekornya berkali-kali dikibaskan ke udara.
“Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing
itu hanya menggeram. Matanya nanar waspada. Tiba-tiba saja ia melompat turun.
Lalu menghilang.
“Kucing
sialan!” Tante Sali muncul dari balik pagar. Napasnya memburu.
Sebelah
tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing itu!”
“Mencuri apa
dia, Tante?” tanya Kiki.
“Oh….” Tante
yang gemuk itu menoleh. Senyumnya mengembang melihat Kiki. “Tidak, tidak
mencuri apa-apa! Tidak berhasil dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan,
menyebalkan, Ki!”
“Oh…. Tidak
berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?”
“Tentu saja karena
ia lapar!” jawab Tante Sali.
“Kasih saja
kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya.
“Enak saja!”
Tante Sali merengut. la jadi nampak lucu sekali. Dagunya yang gemuk
berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!”
Kucing siapa?
Kiki tertegun. Dalam benak gadis kecil itu tak terbayang pemilik kucing yang
selalu membuat ulah itu. Kalau tidak berhasil mencuri di tempat Tante Sali,
pasti ia beroperasi di rumah sebelah lagi.
“Punya siapa,
Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu.
“Tidak tahu.
Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sambil membalikkan badan.
Namun,
kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar.
“Kiki,”
panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan
sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesepian tidak ketemu Kiki,” kata
Tante Sali.
Kiki
menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante yang gemuk itu
mendesaknya bermain ke situ.
Rupanya Tante
Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki sebal
Molly mau seenaknya saja. Kalau ia lagi ingin main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba
kalau lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si
Putih saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih…
“Ngeong… Ngeong….” Terdengar suara kucing.
Kiki segera berlari ke luar.
Beberapa anak
laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada yang menendang,
memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa
mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tapi
tertangkap kembali.
Tante Sali
menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan ia menyemangati anak-anak itu.
Sedangkan Kiki yang berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya yang polos
dan lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu.
Ketika Ibu
pulang dari bekerja, Kiki mengadu sambil terisak-isak. Ibu menenangkan anak
satu-satunya itu dan berjanji.
“Kalau Nyonya
masak daging, nanti Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing pencuri itu.
Biar ia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu.
Ibu bekerja
jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak masih gadis Ibu sudah bekerja di
sana. Ibu berhenti bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah suaminya
meninggal, Ibu bekerja kembali di sana.
Ketika tahu
Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria malah
memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum keluarga kecil itu tentu jarang
makan daging.
“Wah, daging,
Bu!” seru Kiki ketika melihat apa yang dibawa ibunya pulang. “Untuk si Putih?”
“Ini gulai.
Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.”
“Nyonya Maria
baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,” kata
Kiki. Ia makan dengan lahapnya sambil tak lupa bercerita tentang si Putih.
Si Putih,
kucing pencuri itu, kini menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang sulit untuk
mendekati Putih. Kucing itu selalu curiga dan waspada. la pasti lari bila
didekati. Hanya bila lapar saja, ia mencari Kiki. Karena ia tahu Kiki
menyediakan tulang untuknya.
Namun,
lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia yang berlaku
hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing yang bersih dan
manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante
Sali pangling melihatnya.
“Astaga… Ki,
ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama ia tak
mencuri lagi!”
“Soalnya
Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.”
“Ih, baik
begitu, Ki!”
“Kata Ibu,
kucing juga mengerti bila disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada Putih,
pasti Putih juga baik dan jinak.”
Lama Tante
Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin, selama
ini ia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing kecil yang kelaparan?