Dzul Bijadain
Antara Kota Yatsrib (Madinah) dan Makkah, ada sebuah lereng gunung hijau yang dikenal dengan Warqan dan ditempati sebuah kabilah bernama Muzainah. Melalui kabilah dan tempat ini, lahirlah seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani, seorang yang lahir tidak jauh sebelum waktu kelahiran Nabi Umat Islam, Muhammad SAW.
Dikisahkan, ayah dan ibu
Abdul Uzza tergolong sebagai orang miskin, sehingga hidup keluarga ini serba
kesulitan. Kesulitan bertambah ketika ayah bocah ini meninggal dunia saat ia
belum dapat berjalan. Jadilah dia, selain sebagai bocah fakir, ia pun kini
menjadi anak yatim.
Namun kondisinya berubah
saat paman dari Abdul Uzza datang untuk merawatnya. Pamannya adalah orang kaya
yang belum juga mempunyai anak atau yang dapat mewarisi hartanya. Maka ia
begitu senang dengan keponakannya ini, Abdul Uzza diperlakukan seolah dia
adalah anaknya sendiri.
Bertahun-tahun kemudian,
saat Abdul Uzza beranjak dewasa, ia tiba-tiba mendengar tentang seseorang yang
mengaku Nabi sedang disambut oleh penduduk Yatsrib dengan suka cita. Informasi
itu sangat membuatnya tertarik sehingga banyak mencari informasi tentangnya
dari banyak tempat. Seringkali, ia hanya berdiam diri sepanjang hari di tengah
jalan yang menuju Madinah agar dapat bertanya kepada orang yang menuju atau
dari Madinah tentang agama baru dan para pengikutnya.
Setelah lama mencari
informasi tentang Islam dan
Nabi, Allah SWT membuka pintu hidayah-Nya kepada Abdul Uzza sehingga ia
berikrar syahadat. Ini terjadi tanpa Abdul Uzza melihat Rasulullah SAW
secara langsung dan mendengar sabdanya. Maka ia menjadi orang pertama dari
gunung warqan yang masuk Islam.
Meski sudah masuk Islam,
pemuda ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya secara umum dan secara
khusus dani pamannya. Ia sering pergi ke sebuah sudut lereng yang jauh untuk
beribadah kepada Allah agar tidak dilihat kaumnya.
Lama menyembunyikan
keimanannya, maka ketika pemuda ini mendapati bahwa ia menanti cukup lama, ia
mengambil keputusan tanpa berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya dan
menghadap pamannya.
“Paman, aku sudah lama
sekali menunggumu agar engkau masuk Islam hingga habis kesabaranku. Jika engkau
berkenan masuk ke dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu
maka itu amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka
zinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia,"ujarnya.
Begitu ucapan pemuda
didengar di telinga pamannya, maka sang paman emosi dan berkata: “Aku bersumpah
demi Lata dan Uzza, jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang
ada di tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup
miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau
kelaparan,"tutur pamannya.
Namun ancaman ini tidak membuat pemuda
yang beriman ini menjadi gentar. Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah
ditanamkan. Tapi pamannya masih mencoba berbagai cara dan meminta bantuan
kaumnya untuk merayu Abdul Uzza yang ternyata tidak juga berhasil.
Maka serta merta pamannya mengambil
kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Dan ia tidak menyisakan apa-apa
untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja.
Berangkatlah Abdul Uzza untuk bertemu langsung dengan
Nabi dan kaum Muslimin. Begitu ia hampir tiba di Yatsrib, maka ia merobek
bajunya sehingga menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung
dan satunya lagi ia jadikan pakaian. Kondisi yang membuat dirinya dijuluki Dzul
Bijadain.
Dengan mantap, ia menuju masjid Rasulullah SAW dan
menginap di sana pada malam itu. Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat
dari pintu kamar Nabi SAW. Ia mengawasi dengan kerinduan dan kecintaan
munculnya Nabi dari kamar Beliau.
Begitu sholat telah selesai, Nabi sebagaimana biasa
memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau melihat pemuda
ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi
menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab:
“Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba
Allah)!,”
Kemudian Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda:
“Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!,”
Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan
nama Abdullah. Dan para sahabat Rasul memberinya gelar dengan Dzul Bijadain
setelah mereka melihat bijadaih (dua kain kasar).
Dzul Bijadain sangat bahagia saat menjadi orang yang
tinggal di bawah asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis
Beliau. Ia mencari akhirat dengan do'a yang selalu ia panjatkan dengan rasa
takut dan khusyuk, sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al Awwah (Orang
yang sering merintih saat do'a karena takut kepada Allah).
Dia juga mencari akhirat dengan cara berjihad, sehingga
tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW.
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Nabi agar
berdo\'a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rasul
justru mendoakan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafir.
Sangat ingin syahid, ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu
dan bapakku, ya Rasulullah. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah
Rasulullah SAW: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau
sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan
kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau mati, maka
engkau pun syahid karenanya."
Tidak lama eetelah percakapan tersebut, pemuda Dzul
Bijadain terserang penyakit demam yang menyebabkan ia tewas. Para sahabat yang
mulia lalu mengantarkan jasadnya ke kubur. Bahkan Rasul pun turun ke lubang
untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan
Beliau yang mulia.
Abdullah bin Mas'ud berdiri memperhatikan pemandangan
semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini.
Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15
tahun lebih dulu darinya.”