Dihyah Bin Khalifah bin Farwah Al-Kalbi al-Qaddhai, Sang Pria Tampan
Pria tampan nan rupawan itu berasal dari Madinah. Nama lengkapnya Dihyah Bin Khalifah bin Farwah Al-Kalbi al-Qaddhai. Namun penduduk Madinah lebih mengenalnya dengan nama Dihyah Al-Kalbi. Sahabat anshar ini memiliki fisik sempurna dan penampilan menawan yang membuatnya populer dan terkenal. Kala ia muncul di keramaian, selalu mencuri perhatian. Konon, tiap melewati jalanan Madinah, para gadis tiba-tiba keluar rumah sambil mencuri-curi pandang.
Menurut
penuturan ahli sirah, Nabi Muhammad SAW adalah pria paling tampan dari Makkah.
Sedangkan Dihyah Al-Kalbi merupakan penduduk Madinah yang paling tampan. Saat
kedua insan itu sedang bersama-sama, para sahabat seakan melihat dua simbol
keindahan dari golongan muhajirin dan anshar menyatu. Siapa yang mengira di
pelosok gurun pasir yang panas, terdapat unsur-unsur keindahan yang patut
dikagumi.
Kendati
demikian, Dihyah Al-Kalbisadar bahwa nilai seorang muslim bukan pada penampilannya
fisiknya, melainkan hati dan takwa. Tanpa hal itu,manusia tidak bernilai di
hadapan Rabbnya. Inilah standar kualitas muslim yang sebenarnya. Mengukur
seseorang bukan dari apa yang ia lakukan. Oleh karenanya, Dihyah Al-Kalbi
berusaha meraih kesempurnaan amal setelah memiliki kesempurnaan fisik.
Dihyah
Al-Kalbi masuk Islam pada tahun pertama Rasulullah hijrah ke Madinah. Ahli
sejarah menulis bahwa ia telah bersyahadat sebelum peristiwa Perang Badar tahun
2 H. Hanya saja ia tidak ikut dalam perang tersebut dan baru terjun pada Perang
Uhud. Dalam peristiwa itu, Dihyah ikut memanggul beratnya perjuangan
mempertahankan kota Madinah dari serangan kafir Quraisy.
Setelah
itu, ia tidak mau absen dalam kancah jihad, bahkan setelah Rasulullah tiada.
Buktinya, ia ikut serta dalam Perang Yarmuk yang terjadi pada era pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab. Setelah itu Dihyah memutuskan untuk menetap di bumi
Syam hingga wafat.
Ada
cerita lain di balik ketampanan Dihyah. Menurut riwayat yang sahih, malaikat
Jibril kerap turun ke bumi dengan menyaru rupanya. Alkisah, dalam perang ahzab,
setelah Rasulullah memastikan kaum musyrikin benar-benar meninggalkan Madinah,
beliau pulang ke rumahnya dengan tenang.
Tiba-tiba,
malaikat Jibril turun membawa perintah dari langit untuk menghukum kaum Yahudi
Bani Quraidzah.
Aisyah
bertanya, “Rasulullah, siapa yang berbicara dengan anda tadi?”
“Kamu bisa melihatnya?” Nabi balik bertanya.
“Ya.”
“Mirip siapakah orang yang kamu lihat tadi?” tanya Rasulullah kembali.
Aisyah menjawab, “Ia mirip Dihyah Al-Kalbi.”
Rasulullah
lalu menjelaskan siapa sebenarnya sang tamu. “Ia adalah jibril yang turun
membawa perintah agar aku segera berangkat ke perkampungan Bani Quraidzah.”
Disebutkan
dalam hadits lain:
Dari Jabir
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Telah
diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa adalah seorang
laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanu’ah. Dan aku
melihat Isa bin Maryam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah
aku lihat, adalah Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim, dan yang paling
mirip denganya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri
beliau sendiri—dan aku pun melihat Jibril, dan yang paling mirip dengnanya di
antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah.” (HR. Muslim).
Pada
kisah yang lain, setelah mengalahkan orang-orang kafir dalam perang Khandaq,
Nabi menuju ke Madinah. Tetapi, di tengah perjalanan, Malaikat Jibril datang
menunggang keledai putih dan bersorban yang terbuat dari sutra.
Malaikat Jibril menyaru rupa Dihyah Al-Kalbi. Malaikat Jibril
berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berjalanlah
menuju arah Bani Quraidhah.”
Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam kemudian berseru kepada para sahabat, “Barang
siapa yang mendengar dan taat, maka jangan melakukan salat Asar sebelum sampai
di wilayah Bani Quraidhah.”
Sebelum salat
Asar di Bani Quraidhah, salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam tentang alasan Dihyah Al-Kalbi menemui Nabi dengan menggunakan
sorban dari sutra dan menunggangi menunggangi keledai putih.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pun menjawab, “Sesungguhnya ia adalah
Malaikat Jibril–yang menjelma Dihyah Al-Kalbi–. Ia lebih dulu sampai Bani
Quraidhah untuk menakut-nakuti penduduk di sana.”
Salah
satu misi penting yang pernah diemban Dihyah ialah menyampaikan surat nabi
kepada Heraclius, kaisar Byzantium. Di penghujung tahun 6 H, Rasulullah
mengirim surat kepada para raja di Jazirah Arab dan sekitarnya guna mengajak
mereka masuk Islam. Nabi memilih sahabat tertentu sebagai duta yang akan
menyampaikan pesan-pesan tersebut.
Misalnya,
Adi bin Hatim ditugaskan membawa surat ke Muqauqis, Raja Mesir karena ia pernah
memeluk agama nasrani. Muqaiqis tak hanya raja bagi bangsa Koptik, ia turut
menjadi pemuka agama kristen bagi mereka. Pengalaman Adi bin Hatim sebagai
penganut nasrani akan bermanfaat saat berdiplomasi dengan Muqauqis.
Untuk
menyampaikan surat kepada Kisra, Rasulullah memilih Abdullah bin Khudzafah
As-Sahmi. Sahabat yang satu ini pintar bernegosiasi dan bermental baja. Nabi
memilihnya untuk meredam kesombongan Imperium Persia yang berumur ribuan tahun.
Sedangkan
Dihyah Al-Kalbi mendapat mandat menemui Heraclius karena ia cerdas dan tampan.
Bangsa Romawi terkenal sebagai bangsa pemuja keindahan. Hal itu bisa dilihat
dari karya seni dan arsitektur bangunan romawi yang artistik. Secara tersirat,
Rasulullah ingin menunjukkan bahwa orang Islam juga indah, tidak brutal dan
mengesankan.
Dihyah ditugaskan
seorang diri karena misi yang diembannya bersifat rahasia. Rasulullah SAW
menginstruksikan agar ia datang lebih dulu ke Bushra dan menemui Harits bin Abu
Syammar Al-Ghassaniy, sang pemimpin Bushra. Harits akan membantu Dihyah
menyampaikan surat itu kepada Heraclius. Kebetulan, waktu itu Heraclius
berziarah ke Baitul Maqdis dalam rangka menunaikan nadzar.
Pada
akhirnya Dihyah Al-Kalbi berhasil bertatap muka langsung dengan Heraclius.
Disampaikannya surat dakwah dari Nabi SAW kepadanya. Sang kaisar membuka surat
tersebut dengan pelan. Terdapat tanda stempel bertuliskan “Muhammad Rasul
Allah”. Kata “Allah” ditulis paling atas. Berikutnya tertulis kata “Rasul” dan
kata “Muhammad”. Isi surat tersebut sebagai berikut:
“Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah
dan utusan-Nya. Kepada Heraclius Penguasa Negara Romawi. Semoga keselamatan
atas orang yang mengikuti petunjuk yang benar.
Adapun
sesudah itu, sesungguhnya aku mengajakmu kepada seruan Islam. Masuklah ke agama
Islam, niscaya engkau selamat. Masuk Islamlah, Allah akan memberi pahala
kepadamu dua kali. Maka jika engkau berpaling, sesungguhnya kamu akan mendapat
dosa-dosa segenap rakyatmu.
Dan,
wahai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama antara kami
dan kalian, yaitu kita tidak menyembah melainkan hanya kepada Allah, dan kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan sebagian kita tidak
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Jika
mereka berpaling maka katakanlah, “Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) (QS. Ali Imran
: 64)
Surat
Nabi SAW itu terus dibacakan hingga selesai. Heraclius lalu memanggil Dihyah
Al-Kalbi bersama sang Uskup Agung yang memahami Kitab Inzil. Dibacakan sekali
lagi surat itu kepadanya.
“Inilah
yang selalu kita tunggu-tunggu, dan Nabi kita Isa sendiri telah memberitahukan
kita lama dulu!” Kata Uskup Agung itu kepada Heraklius.
“Apa pendapatmu? Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Kaisar dengan raut muka
bingung.
Sang uskup menjawab, “Kalau engkau tanya pendapatku, aku tentu akan
mempercayainya dan akan mengikuti ajarannya.”
“Tetapi posisiku serba salah”, kata Kaisar, “Jika aku ikut nasihatmu, akan
hilanglah kerajaanku!”
Heraklius
termenung sesaat. Ia meminta Dihyah mendekat. “Sampaikanlah berita kepada
pemimpinmu, bahwa aku tahu dia memang benar Nabi. Tetapi apa daya, aku tak
dapat buat apa-apa, karena aku tidak ingin ditumbangkan dari kerajaanku dan
dibunuh!”
Dihyah
menyimak kata-kata Kaisar Heraclius dengan seksama. Dihyah melihat kejujuran
dalam kata-kata Heraclius yang meluncur dari lubuk hati terdalam. Amanat Kaisar
Byzantium tersebut disampaikan Dihyah kepada Rasulullah. Rasulullah memahami
posisi Heraclius turut mendoakan hidayah untuk sang Kaisar dan agar tahtanya
tetap terjaga.
Demikianlah
artikel tentang Dihyah Al-Kalbi ini. Baca juga kisah lainnya di sini. Semoga bermanfaat!
Sumber
: Majalah Ar Risalah