Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi
Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak.
Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena
senantiasa di pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya
tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam.
Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang lapar,
memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi perlindungan kepada orang
yang memerlukan perlindungan.
Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung,
seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut, mengenal dengan baik
kata-kata yang manis dan pahit, dimana kalimat berperan padanya layaknya sihir.
Ath-Thufail meninggalkan
kampung halamannya di Tihamah[1] menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan
antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
orang kafir Quraisy, di saat Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam berusaha menyampaikan dakwah Islam kepada
penduduknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka
kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang
kafir Quraisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata,
menghalang-halangi manusia darinya dengan berbagai macam cara.
At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini tanpa
persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki sebelumnya.
Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara
Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit dalam pikirannya sebelum
ini.
Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai
kisah dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak kisah tersebut,
karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.
Ath-Thufail berkisah,
Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy melihatku,
mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan sangat baik dan menyiapkan
tempat singgah yang terbagus bagiku.
Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku sembari
berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah datang ke negeri kami, dan
laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami
dan memecah-belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami.
Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam
kepemimpinanmu atas kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki
itu, jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai kata-kata seperti
sihir, memisahkan seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya,
seorang istri dari suaminya.”
Ath-Thufail berkata,
Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang
aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan perbuatan-perbuatan Muhammad
yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat
kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar apa pun darinya.
Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf
di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada berhala-berhala yang kepada merekalah
kami menunaikan ibadah haji dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku
menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan Muhammad
yang menuyusup ke telingaku.
Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang berdiri.
Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda dengan shalat kami, beribadah
dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik
perhatianku, ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku telah
mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa kesengajaan diriku
telah benar-benar dekat kepadanya.
Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan Muhammad
terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada
diriku, “Celaka kamu wahai Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair
yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang menghalangimu
untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka
kamu harus menerimanya, jika buruk maka kamu harus membuangnya.”
Ath-Thufail berkata, “Aku
diam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan
tempatnya menuju rumahnya, aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya
dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku
telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti
dari ajaranmu sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak
mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu semua dan membuatku mendengar
sebagian dari ucapanmu. Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”
Di saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah,
aku tidak pernah mendengar sbuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya, aku
tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada perkaranya.
Pada saat itu aku ulurkan
tanganku untuknya, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang
haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”
Ath-Thufail berkata,
Kemudian aku tinggal di Mekah beberapa waktu. Selama di sana aku
belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal Alquran yang mungkin untuk aku
hafal. Ketika aku berniat untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, “Rasulullah,
sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan kaumku, aku akan
pulang untuk mengajak mereka kepada Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia
memberiku sebuah bukti untuk mendukungku dakwahku kepada mereka.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah
berikanlah dia sebuah bukti.”
Aku pun pulang kepada kaumku, ketika aku tiba di sebuah tempat
yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba secercah cahaya muncul di keningku
seperti lampu, maka aku berkata, “Ya Allah, pindahkanlah ia ke tempat lain,
karena aku khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman yang
menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama mereka.”
Maka cahaya itu berpindah ke ujung semetiku, orang-orang melihat
cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang tergantung, aku turun
kepada mereka dari sebuah jalan di bukit. Manakala aku tiba di perkampungan,
bapakku yang sudah berumur lanjut menyambutku, aku berkata kepadanya,
“Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan engkau bukan
termasuk golonganku.”
Bapakku bertanya, “Mengapa wahai anakku?”
Aku menjawab, “Aku telah masuk
Islam, aku mengikuti Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Dia berkata, “Anakku, agamamu adalah agamaku juga.”
Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan sucikanlah pakaianmu,
kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku ketahui.”
Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan menyucikan bajunya,
kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya dan dia masuk Islam.
Kemudian istriku datang kepadaku, aku berkata kepadanya,
“Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan kamu bukan termasuk
golonganku.
Dia bertanya, “Bapak dan ibumu sebagai jaminanku, mengapa?”
Aku menjawab, “Islam memisahkan antara diriku dengan dirimu, aku
telah mengikuti Muhammad.”
Dia berkata, “Agamamu adalah agamaku.”
Aku berkata, “Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syura.”[2]
Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai jaminanku, apakah kamu
takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syura?”
Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syura, aku
katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari penglihatan orang-orang
aku menjamin bahwa batu pejal itu tdak akan melakukan apa pun terhadapmu.”
Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang, aku menjelaskan
Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.
Kemudian aku mengajak kaumku Daus, namun mereka tidak menjawab
dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah orang yang paling cepat
menjawab seruanku.
Ath-Thufail berkata,
Aku datang bersama Abu
Hurairah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Mekah. Di saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadaku, “Hati kaummu masih tertutupi sekat tebal dan
kekufuran yang keras. Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan
kemaksiatan.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengambil
air, beliau wudhu kemudian mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangan
beliau ke langit. Abu Hurairah berkata, “Manakala aku melihat beliau melakukan
itu, aku takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka akan binasa. Maka
aku berkata, ‘Celaka kaumku.”
Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah
petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus.”
Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata,
“Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam dengan lemah lembut.”
Ath-Thufail berkata,
Aku terus tinggal di kampung
Daus, aku mengajak mereka kepada Islam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke
Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq berlalu. Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama delapan
puluh keluarga dari Daus yang telah masuk Islam dan mereka konsisten terhadap
ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia
dengan kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta rampasan perang
Khaibar kepada kami sama dengan kaum muslimin lainnya.
Kami berkata kepada beliau,
“Ya Rasulullah, jadikanlah kami sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap
peperangan yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, ‘Mabrur.”
Ath-Thufail berkata,
Setelah itu aku terus bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
Allah Ta’ala membuka Mekah untuk
beliau. Aku berkata, “Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk
menghancurkan berhala Amru bin Hamamah, aku ingin menghancurkannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya,
ath-Thufail berangkat dengan sebuah pasukan yang terdiri dari kaumnya.
Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya, kaum
laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya, mereka berharap ath-Thufail
akan ditimpa keburukan, mereka berharap sebuah halilintar menyambarnya jika dia
menghancurkan Dzul Kafain.
Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala tersebut di
hadapan tatapan mata para pemujanya.
Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil
bersyair,
Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu
Kelahiran kami mendahului kelahiranmu
Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.
Api melahap berhal itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yan
ada pada kabilah Daus, maka mereka semuanya masuk Islam dan mereka pun memiliki
komitmen yang kuat terhadap Islam.
Setelah itu ath-Thufail bin
Amru ad-Dausi senantiasa mendampingi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai beliau wafat dan berpulang ke hadapan
Rabbnya.
Setelah itu khilafah
berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail memberikan jiwanya, pedangnya dan
anaknya dalam menaati khalifah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan
depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab,
putranya pun ikut bersamanya.
Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi, dia
berkata kepada kawan-kawannya, “Aku bermimpi, tolong jelaskan kepadaku apa
artinya?”
Mereka bertanya, “Mimpi apa?”
Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku dicukur, seekor burung
keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke dalam perutnya, anakku Amru
mencari-cari diriku dengan gigih namun antara diriku dengan dirinya terdapat
penghalang.”
Mereka berkata, “Itu mimpi yang baik.”
Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku sudah bisa mengartikan
makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor burung keluar dari
mulutku, artinya arwahku meninggalkan jasadku. Wanita yang memasukkanku ke
dalam perutnya adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang
gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang akan aku dapatkan
dengan izin Allah, anakku akan mendapatkannya kelak.”
Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail
ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan kepahlawanannya dengan gagah
berani, sampai dia gugur sebagai syahid di bumi perang Yamamah.
Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai tubuhnya
penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke Madinah meninggalkan
bapaknya sementara tangan kanannya dikubur di bumi Yamamah.
Di masa khilafah Umar bin al-Khatthab, Amru bin ath-Thufail
datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada al-Faruq sementara
orang-orang yang duduk di sekelilingnya dipersilahkan untuk menyantap hidangan,
Amru justru malah menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya,
“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan ini
karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”
Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”
Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tidak menyantap makanan ini
sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu yang terputus itu. Demi
Allah, di antara yang hadir ini tidak ada seseorang yang sebagian organnya
telah tinggal di surga selainmu –maksudnya adalah tangannya-.
Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru sejak dia
berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru bin ath-Thufail bersegera
berpartisipasi di dalamnya bersama orang-orang yang bersegera, dia berperang
sehingga dia meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.