Kisah Sya’ban, Sahabat Nabi yang Menyesal Saat Sakaratul Maut
Kisah Sya'ban menjadi bahan renungan yang disampaikan oleh Penyelenggara
Zakat dan Wakaf Kantor Kemenag Bintan, Maida Lely Syam dalam tausiyah ba'da
Zuhur, Senin, 25 Maret 2024 di musala Al Muhajirin.
Sya’ban. Namanya tidaklah menonjol layaknya para sahabat yang lainnya,
seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Tsabit, dan lainnya.
Sahabat Sya’ban memiliki kebiasaan unik yang selalu beliau jalani
sepanjang hidupnya. Kebiasaan itu adalah beliau selalu hadir di dalam masjid
sebelum shalat fardhu berjamaah dimulai. Sya’ban selalu duduk di sudut masjid
sambil beri’tikaf. Alasan ia memilih sudut ruang masjid bukanlah supaya mudah
untuk tidur sambil senderan, tetapi agar tidak mengganggu jamaah lain yang
ingin beribadah.
Suatu ketika, Sya’ban tidak ada di posisi tempat ia biasa beri’tikaf.
Rasulullah yang hendak memulai shalat shubuh berjamaah pun mulai
bertanya-tanya, dimana Sya’ban berada? Kok tidak biasanya? Tidak ada seorang
pun yang melihat Sya’ban yang menyebabkan shalat jamaah pun ditunda beberapa
saat.
Setelah beberapa waktu tidak ada tanda-tanda kehadiran Sya’ban, Rasulullah
pun segera melaksanakan jamaah shalat subuh. Rasulullah khawatir jika terlalu
lama menunggu, shalat subuh berjamaah akan terlaksana terlalu siang.
Wafatnya Sya’ban
Selesai melaksanakan jamaah, Rasulullah pun bertanya kepada para sahabat
yang hadir dalam jamaah shalat subuh itu. “Ada yang tahu dimana rumah
Sya’ban?”, salah seorang sahabat mengetahui dimana persisnya letak rumah
sahabat Sya’ban.
Khawatir terjadi sesuatu terhadap Sya’ban, Rasulullah meminta agar
diantarkan ke tempat kediaman Sya’ban kala itu. Dengan segera rombongan
Rasulullah bersama para sahabat pergi untuk datang ke rumah Sya’ban. Perjalanan
ditempuh amat panjang, hingga jarak antara masjid menuju lokasi kira-kira
ditempuh mulai setelah shalat shubuh sampai waktu afdhal untuk melaksanakan
shalat dhuha.
Sesampainya di depan rumah, Rasulullah pun mengucap salam sambil mengetuk
pintu. Kemudian, keluarlah seorang wanita sambil membalas salam serta membukakan
pintu. Rasulullah bertanya, “Benarkah ini rumah Sya’ban?”. Wanita itu menjawab,
“Iya, saya istrinya.”
Rasulullah kembali bertanya, “Bisa kah kami bertemu dengan Sya’ban? Tadi
pagi beliau tidak hadir waktu jamaah shalat subuh bersama kami.” Wanita itu
menjawab sambil menitikkan air mata di pipinya. “Mohon maaf ya Rasulallah.
Beliau sudah meninggal pagi tadi, tepat sebelum adzan subuh. “Innalillahi wa
inna ilaihi rajiun”.
Beberapa saat kemudian, wanita itu bertanya kepada Rasulullah. “Ya
Rasulullah, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada engkau.” Rasulullah pun
menjawab, “Silakan apa yang hendak ingin kau tanyakan?”
Wanita itu berkata, “Tadi sebelum ia meninggal, ia berteriak tiga kali
dengan kalimat yang berbeda.” Rasulullah pun kembali bertanya, “Apa saja
kalimat yang diucapkannya?”
“Dalam masing-masing teriakan ia berkata ‘Aduh, mengapa tidak lebih jauh?
Aduh, mengapa tidak yang baru? Aduh, mengapa tidak semuanya?’”
Tiga Penyesalan Sya’ban
Rasulullah kemudian memberikan penjelasan dengan amat rinci. Ketika
menjelang sakaratul maut, seluruh amal perbuatan yang telah Sya’ban lakukan
ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Semua peristiwa yang disaksikan oleh Sya’ban,
tidak dapat dilihat oleh orang lain. Di samping amal perbuatan, Allah juga
memperlihatkan ganjaran yang Sya’ban terima.
Teriakan pertama, “Aduh, mengapa tidak lebih jauh?”
Dalam penayangan itu, Sya’ban menyaksikan suatu amal yang biasa ia lakukan
setiap hari berupa perjalanannya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat
berjamaah. Dari perjalanan yang amat panjang itu, Sya’ban diperlihatkan
ganjaran yang ia peroleh dari setiap langkah kakinya.
Saat ia berteriak, timbul penyesalan dalam diri Sya’ban. Andaikan jarak
rumahnya dengan masjid lebih jauh lagi, tentu pahala yang ia peroleh semakin
banyak dan berlipat-lipat.
Teriakan kedua, “Aduh, mengapa tidak yang baru?”
Saat musim dingin, angin menghembuskan hawa dingin yang menusuk hingga ke
tulang. Sya’ban yang hendak pergi ke masjid pun kembali ke dalam rumah dan
mengambil baju untuk outer. Sya’ban sengaja mengenakan baju yang baru di dalam
sedangkan baju yang jelek di luar.
Sya’ban sengaja melakukannya karena nanti jika terkena debu atau kotoran
di jalan hanya terkena di baju yang luar, sedangkan baju yang dalam masih
bersih dan dapat digunakan untuk shalat berjamaah setelah menanggalkan baju
yang luar.
Di tengah perjalanan, Sya’ban menemukan seseorang yang kedinginan. Tanpa
ragu, Sya’ban segera menanggalkan bajunya yang luar lalu menyelimuti orang itu
sambil memapahnya menuju masjid. Orang itu selamat dari kedinginan dan dapat
melaksanakan shalat berjamaah.
Sya’ban melihat ganjaran yang ia terima sebagai balasan untuknya yang
telah memakaikan baju yang jelek kepada orang itu. Sya’ban menyesal, seandainya
ia memakaikan bajunya yang baru, pastilah ganjaran yang ia terima jauh lebih
banyak lagi.
Teriakan ketiga, “Aduh, mengapa tidak semua?”
Suatu pagi, Sya’ban hendak sarapan dengan sebuah roti dan segelas susu.
Roti itu dikonsumsi dengan dicelupkan terlebih dahulu ke dalam susu hangat sebelum
disantap.
Sebelum memulai sarapan, datanglah pengemis di depan pintu rumah Sya’ban
sambil meminta makan. Pengemis itu mengaku sudah tiga hari tidak makan sama
sekali. Sya’ban pun merasa iba. Ia pun membagi rotinya menjadi dua bagian sama
besar dan juga membagi susu ke dalam dua gelas yang sama banyak.
Sya’ban pun diperlihatkan ganjaran yang ia terima dari memberikan sebagian
roti dan separuh susu yang hendak ia makan untuk sarapan. Andaikan ia
memberikan semuanya, tentu, pahalanya jauh lebih besar lagi.