Jati Diri Si Elang
Di suatu desa, hidup seorang petani rajin yang sedang memanen buah kopi. Di tengah aktivitasnya memanen tersebut, tidak disangka ia menemukan sebuah sarang burung di atas pohon kopi.
Petani tersebut kemudian
memanjat pohon kopi tempat sarang itu berada. Di sana, ia menemukan beberapa
butir telur burung elang yang masih hangat. Petani tersebut menyimpulkan bahwa
kemungkinan telur burung elang tersebut sedang dierami oleh induknya.
Hanya saja petani tidak
menemukan dimana induk elang tersebut. Akhirnya, satu telur elang diambil dan
dibawanya pulang. Di rumah petani, telur elang tersebut diletakkan di kandang
ayam. Kebetulan, ayam – ayam petani juga sedang bertelur dan beberapa telur
ayam ada yang sudah waktunya menetas. Beberapa hari kemudian, telur elang
tersebut ternyata menetas bersamaan dengan menetasnya beberapa telur ayam.
Anak elang pun lahir, begitu
juga dengan beberapa anak ayam. Karena menetas di tempat yang sama dengan anak
ayam, anak elang dianggap oleh induk ayam sebagai anaknya. Anak elang tersebut
diperlakukan sama oleh induk ayam dengan anak – anak ayam yang lain, tidak ada
yang dibedakan.
Mereka diberi makan yang sama,
diajari cara berjalan yang sama, diberi tempat berteduh yang sama, dilindungi
dari hewan lain dengan adil dan rata. Semuanya diperlakukan sama oleh induk
ayam yang adil tersebut.
Meski sebenarnya, induk ayam juga
sadar bahwa ada yang berbeda dengan salah satu anak yang dirawatnya tersebut
jika dibandingkan dengan anak – anaknya yang lain.
Hari pun berlalu, anak elang
yang dirawat oleh induk ayam tumbuh besar. Ia menyadari tubuhnya berbeda dengan
saudaranya yang lain karena ia tumbuh terlalu tinggi.
Hingga suatu hari, salah satu
anak ayam yang dianggap saudara oleh anak elang tersebut bertanya, “Hai
saudaraku, kenapa kamu begitu besar sementara aku masih saja sekecil ini?”
Anak elang menjawab, “Aku juga
tidak tahu mengapa aku berbeda”.
“Apakah kamu bisa terbang?
Sepertinya kamu punya sayap”. Tanya anak ayam lagi.
Anak elang menjawab, “Aku tidak
bisa terbang. Kamu sendiri tahu bahwa ibu selalu mengajariku cara berjalan
seperti kalian. Jika aku diajari cara berjalan, bagaimana caranya aku bisa
terbang secara tiba – tiba tanpa ada yang memberi tahu aku cara terbang?”.
Anak elang pun menggumam,
“Seandainya aku bisa terbang aku pasti bisa mengambil makanan yang berada di
atas pohon sana, sayangnya aku bukan burung yang bisa terbang.” Anak elang yang
dirawat oleh induk ayam itu sedang meratapi nasib.
Sadar bahwa salah satu anaknya
sedih, induk ayam mendekat. “Hai anakku, mengapa kau bersedih?”
Anak elang menjawab, “Ibu, aku
berbeda dengan saudaraku. Tubuhku terlalu besar tapi kemampuanku masih begini –
begini saja.”
Induk ayam menjawab, “Mungkin
kamu berbeda, tapi ibu menyayangimu sama seperti saudaramu yang lain. Lalu apa
yang kau inginkan sekarang?”
“Aku ingin terbang ibu,
sepertinya aku punya sayap. Tapi aku tidak bisa menggunakannya.”
Induk ayam pun memberi nasihat,
“Mungkin kamu bukan tidak bisa, tapi kamu belum pernah melakukannya”.
Sadar bahwa ucapan induk ayam
ada benarnya, anak elang pun mulai berlatih untuk terbang. “Aku ingin jadi
elang!” tekadnya menyemangati diri sendiri.
Beberapa bulan berlatih, anak
elang itu pun bisa terbang. Ia sangat senang. Saudara – saudaranya juga turut
senang dengan kemampuan anak elang yang meningkat drastis. Pun begitu dengan
induk ayam yang menganggap anak elang itu sebagai anaknya sendiri, ia merasa
sangat bangga.
Anak elang pun bisa terbang
bebas di udara dan menikmati hidupnya dengan sayap yang dimilikinya. Meski
begitu, ia tidak sombong dan tetap merangkul semua saudara yang selama ini
tinggal bersamanya. Anak elang juga masih patuh dan menghormati induk ayam yang
sedari lahir ia anggap sebagai ibunya karena anak elang memang tidak tahu siapa
ia sebenarnya.