Petualangan Mogi Si Tikus Tanah

 Mogi adalah tikus tanah sangat penggugup. “Endus endus… “ katanya pada dirinya sendiri sambil menggerak-gerakkan hidungnya. “Aku bisa mencium aroma musim semi… Aku ingin lihat!” serunya girang.

Mogi memakai kacamatanya yang tebal. Penglihatannya memang kurang bagus pada siang hari. Pandangannya juga sering tertutup oleh moncongnya sendiri yang panjang.

Hari itu sangat cerah dan cantik. Musim semi telah datang. Sinar matahari memancar ke kacamata Mogi. “Hei, matahari!” protes Mogi. “Kamu jangan bikin aku silau!”

Mogi akhirnya memberanikan diri keluar dari lubangnya. Satu, dua, tiga langkah… Ah, kepala Mogi terasa pusing dan berputar. Namun, ia mencoba melihat ke langit biru dan burung-burung yang terbang di dekatnya. 

Tapi… crash! Mogi jatuh ke rumput lembut di rumpun bunga kuning yang semua basah sejak malam.

“Halo Mogi,” sapa bunga-bunga kuning.

Saat Mogi sudah berdiri lagi, ia menemukan dirinya ada di dekat aliran air tempat bebek-bebek berenang gembira.

“Halo bebek-bebek,” kata Mogi. “Ini sudah musim semi, lo,” kata Mogi.

“Kami tahu,” jawab para bebek berkwek kwek. “Telur kami sudah siap dierami.”

“Kuk kooo…kuk kooo…” Burung-burung cuckoo terbang kesana-kemari, bermain petak umpet.

Mogi berhenti menyapa karena ada banyak yang harus ia lakukan. Kini ia naik ke sebutir buah kelapa yang mengambang dan menjadikannya perahu. Mogi lalu mengikuti aliran air kecil.

Mogi tidak berlayar jauh ketika kelapa itu tersangkut di ilalang air.

“Tolooong… tolooong…” teriak Mogi ketakutan.

Seekor angsa liar kebetulan sedang berenang di dekat situ. Ia mendekat sehingga Mogi bisa melompat ke punggungnya. Angsa itu lalu berenang membawa Mogi ke tepi sungai.

Setiba di tepi sungai, Mogi melompat turun. Angsa itu memberi nasihat,

“Lebih baik kau berjalan kaki untuk ke sampai ke tujuan. Itu lebih aman daripada lewat lewat sungai sendirian…”

“Baiklah, aku janji. Terima kasih sudah menolongku,” kata Mogi gemetar.

Mogi kini merasa sangat lapar. Ia mulai mencari makanan. Ia tidak perlu mencari terlalu jauh, karena ada banyak makanan yang bisa ia pilih.

Saat sedang mencari makan, Mogi melihat burung-burung yang terbang di sekitarnya. Ia melihat dengan sedih,

“Andai saja aku bisa terbang bagai burung-burung. Aku ingin sekali merasakan terbang tinggi.”

Mogi lalu naik ke sebuah gundukan bukit kecil. Setiba di puncaknya, ia berteriak keras,

“Satu dua, tiga… Tubuhku… ayo, terbaaaang…” Mogi lalu melompat untuk terbang ke angkasa.

Akan tetapi… BRUK! Tubuh Mogi mendarat di tanah, lalu berguling-guling dan… BYURRR… tercebur ke kolam bebek.

Sekali lagi Mogi berteriak minta tolong. Ia tak suka berada di dalam air. Tubuhnya terasa dingin, basah dan aneh.

Tak lama kemudian, muncul seekor hedgehog. Ia mendorong sebatang dahan tumbuhan air ke arah Mogi. Tikus tanah itu langsung berpegangan di tumbuhan itu. Hedgehog itu lalu menarik tumbuhan itu ke darat.

Ketika tiba di tanah yang kering, Mogi mulai menangis dan berterima kasih pada Hedgehog.

Bajing yang baik hati datang mendekat. Ia memberi Mogi sebuah mahkota dari rangkaian bunga daisy. Katak yang ada di situ lalu bertepuk tangan ikut menghibur.

Seketika Mogi tersenyum lagi.

“Aku tak akan mencoba jadi pelaut, burung, atau apa pun juga,” katanya pada teman-temannya. “Sejak sekarang, aku akan senang menjadi tikus tanah walau mataku agak rabun untuk melihat…”