Perang Aceh

Perang Aceh adalah pertempuran antara Kesultanan Aceh melawan Belanda yang berlangsung antara 1873-1904. Pertempuran ini merupakan bagian dari serangkaian konflik yang timbul karena ambisi Belanda untuk menguasai nusantara. Di antara perlawanan-perlawanan besar yang terjadi di Indonesia sepanjang abad ke-19, Perang Aceh termasuk yang paling berat dan terlama bagi Belanda. Meski Kesultanan Aceh telah menyerah pada 1904 dan kekuatannya banyak berkurang, perlawanan dari rakyat terus berlanjut hingga 1914.

Penyebab terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda untuk menguasai Aceh, yang kedudukannya semakin penting baik dari segi strategi perang maupun jalur perdagangan sejak Terusan Suez dibuka pada 1869.

Pada 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda menyepakati tentang pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Traktat Sumatera.

Salah satu sebab terjadinya Perang Aceh yaitu adanya politik ekspansi Belanda karena Traktat Sumatera yang isinya menyebutkan bahwa Inggris memberikan izin kepada Belanda menguasai Sumatera.

Dalam kesepakatan disebutkan bahwa Belanda tidak dapat mengganggu kemerdekaan Aceh. Akan tetapi, pada praktiknya Belanda tetap berusaha melancarkan serangan terhadap daerah Aceh yang jauh dari ibu kota.

Sultan Aceh pun semakin waspada dan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Kekhawatiran Aceh semakin meningkat saat Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatera pada 1871.

Menurut perjanjian itu, Belanda diberi kebebasan untuk mengadakan perluasan wilayah di seluruh Sumatera, termasuk Aceh yang selama ini tidak dapat diganggu kedaulatannya.

Alhasil, Aceh mulai memperkuat diri dengan mengadakan hubungan dengan Turki, Italia, dan Amerika Serikat.

Pemerintah Hindia Belanda yang tidak menginginkan adanya campur tangan negara asing pun menjadikan hubungan diplomatik tersebut sebagai alasan untuk menyerang Aceh.

Jalannya perang 

Agresi tentara Belanda terjadi pada 5 April 1873 di bawah pimpinan Jenderal J.H.R Kohler. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda.

Pertempuran sengit pun terjadi di kawasan pantai dan kota. Dalam upaya memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman, Jenderal J.H.R Kohler meninggal dan pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur ke pantai.

Setelah gagal dalam serangan pertama, Belanda melipatgandakan kekuatannya dan melakukan agresi kedua pada 9 Desember 1873 di bawah pimpinan Jan van Swieten.

Dalam serangan ini, Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan menduduki Keraton Sultan.

Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan membuat Belanda berani menyatakan bahwa Aceh telah menjadi daerah kekuasaannya.

Akan tetapi, para ulebalang, rakyat, dan ulama tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda dan terus melancarkan serangan.

Perang Sabil

Penobatan Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah pada 1884 menjadi babak baru dalam Perang Aceh.

Pasalnya, pada penobatan ini para pemimpin Perang Aceh seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan Perang Sabil, yakni perang suci untuk membela agama dan tanah air melawan kezaliman di bumi.

Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Di bagian barat misalnya, tampil Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, yang gigih melawan Belanda.

Belanda yang mulai kewalahan dengan perang gerilya pun menyiasatinya dengan menerapkan strategi yang dikenal dengan konsentrasi stelsel.

Strategi konsentrasi stelsel dilakukan dengan memusatkan pasukan supaya dapat lebih terkumpul.

Ketika cara ini dirasa belum efektif, Belanda kembali mencoba strategi baru dengan mendatangkan Snouck Hurgronje untuk memelajari sistem kemasyarakatan penduduk Aceh.

Strategi Snouck Hurgronje

Untuk mengalahkan pertahanan Aceh, Snouck Hurgronje menyamar selama dua tahun guna melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh. Dari penelitiannya, Hurgronje, yang memakai nama samaran Abdul Gafar, menyimpulkan bahwa kekuatan Aceh terletak pada peran para ulama. Penemuannya ini dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru, termasuk dalam pembentukan Korps Marchausse, yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Dengan pasukan ini, Belanda berhasil mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Pada 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh.

Akhir dari Perang Aceh

Setelah kematian Teuku Umar, Sultan dan Panglima Polem memutuskan untuk berpindah-pindah supaya tidak bernasib sama. Akan tetapi, mereka terpaksa menyingkir setelah terdesak oleh besarnya pasukan musuh. Pada 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem juga menyerah setelah tekanan yang bertubi-tubi. Peristiwa ini membuka jalan bagi pemerintah Belanda untuk menanamkan kekuasaannya di seluruh wilayah Kesultanan Aceh. Meski Kesultanan Aceh telah runtuh, semangat juang rakyatnya masih sulit untuk dipadamkan hingga masa pendudukan Jepang.