Sahabat Nabi Yang Jenazahnya dimandikan Oleh Malaikat

Hanzhalah ibn Abu Amir Al-Rahib adalah sahabat Anshar dari suku Aus. Ia beriman dan mengikuti Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam tidak lama setelah beliau berhijrah ke Madinah. Ia dikenal sebagai pemimpin kaum yang memiliki banyak pengikut. Ayahnya, Abu Amir Al-Rahib tidak mengikuti jejaknya mengimani Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam; ia tetap musyrik.

 

Beberapa saat setelah Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam tiba di Madinah, Abu Amir Al-Rahib – nama aslinya adalah khalaf, bertanya kepada beliau, “Ajaran apa yang engkau bawa, wahai Muhammad?”

 

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam menjawab, “Ini adalah ajaran yang lurus; agama Ibrahim.”

 

Abu Amir Al-Rahib kemudian berkata, “Aku juga mengikuti ajaran tersebut.”

 

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam menjawab, “Kau tidak termasuk di dalamnya.”

 

Abu Amir Al-Rahib kemudian berkata, “Engkau telah memasukkan ke dalam ajaran Ibrahim sesuatu yang bukan berasal dari ajarannya.”

 

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam menjawab, “Aku tidak pernah melakukan itu. Aku datang membawa ajaran yang murni (tanpa ditambahi dan dikurangi).”

 

Abu Amir Al-Rahib kemudian berkata, “Demi Allah, orang yang dusta diantara kita akan terusir dan diasingkan.”

 

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam menjawab, “Aamiin.”

 

Karena kehabisan argumen, Abu Amir Al-Rahib berkata dengan nada kesal, “Pasti aku akan bergabung dengan kelompok yang nantinya akan memerangimu. Aku akan berperang bersama mereka.”

 

Sebelum berpisah, Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam menjulukinya Al-Fasiq; julukan yang akan membuatnya tersiksa di Neraka. Sehingga setelahnya ia disebut sebagai Abu Amir Al-Fasiq.

Ternyata, Abu Amir Al-Fasiq bersungguh-sungguh dengan ucapannya, ia sering menemui Abu Jahal, memanas-manasinya agar semakin membenci Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam. Berbeda dengan ayahnya, Hanzhalah dikenal sebagai sahabat yang baik dan sangat mencintai Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam, Ia tidak pernah menyakiti hati Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam, kecuali sekali karena fitnah yang dilesatkan ayahnya. 

 

Ia mempunyai sahabat yang senasib dengan beliau, yaitu Abdullah ibn Abdillah ibn Ubay ibn Salul. Ia dan Abdullah bernasib sama lantaran ayahnya sama-sama tak mengikuti jejak mereka mengimani Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam; kedua orang tuanya sama-sama kafir.

Saat perang badar berkecamuk, pasukan musyrik dipimpin oleh Abu Jahal, didukung beberapa pemimpin musyrik lainnya seperti kedua anak Rabiah, yaitu Utbah dan Syaibah. Di antara mereka juga ada Al-Walid ibn Utbah, Aqabah ibn Abu Muhith dan Umayyah ibn Khalaf.

Dalam perang uhud, Abu Amir Al-Fasiq memimpin kaum musyrikin dari suku Aus untuk membantu suku Quraisy dan sekutu mereka. Singkat cerita, ketika kedua pasukan; kaum musyrikin dan muslimin, telah sampai di Uhud. Hanzhalah ikut serta di dalamnya, padahal ia tengah menikmati masa-masa manisnya sebagai pengantin baru. Tetapi, ketika ia mendengar seruan dari Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam, ia memutuskan bahwa jihad di jalan Allah melawan kaum musyrik lebih penting disbanding istri, keluarga, dan segala urusan lainnya. Maka, ia bangkit dari peraduannya dan bergabung bersama barisan Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam.

 

Ketika perang berkecamuk, sedikit demi sedikit kaum muslim berhasil menekan barisan musuh dan menjatuhkan beberapa orang diantaranya. Tak sedikit pasukan musuh yang lari kocar-kacir meninggalkan senjata dan perbekalan mereka. Jelas sekali, kemenangan akan segera diraih oleh kaum muslim. Namun, tiba-tiba keadaan berubah. Pasukan musyrik merangsek kembali, menekan dan merusak kaum muslim. Tentu saja pasukan muslim terkejut mendapati situasi yang mendadak berubah. Tak sedikit mujahidin yang tumbang oleh senjata musuh.

 

Hal tersebut terjadi lantaran kelompok terpenting pasukan muslim tidak mematuhi perintah Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam sebagai komando tertinggi. Mereka –para pemanah- kalah oleh ketamakan mereka sendiri. Mereka tergiur oleh harta rampasan yang menggoda dan membuat mereka melanggar perintah. Saat mereka tengah sibuk memunguti sejumput ‘sampah’ itu, Khalid bin Walid –yang belum menjadi muslim- membekuk dari belakang dan memporak porandakan mereka.

 

Karena jatuhnya korban disana banyak, tersiar kabar bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam telah gugur. Kabar tersebut telah merusak barisan kaum muslimin dan menjatuhkan semangat mereka. Akibatnya banyak di antara mereka yang tumbang akibat serangan musuh, dan tidak sedikit pula yang terbunuh. Sebagian lainnya terus berperang meskipun semangat mereka telah jatuh menurun.

 

Sementara Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam yang dikabarkan gugur mengalami luka di tubuhnya; yaitu pada bibir, pipi, dan kening. Beliau diserang oleh dua musuh; dari sisi kanan oleh Ibn Qayimah, dan dari kiri oleh Utbah ibn Abu Waqash.

 

Setelah perang usai Abu Sufyan dan si fasiq keluar memeriksa korban yang tewas. Tiba-tiba mereka berhenti dekat jenazah Hanzhalah. Si Fasiq berkata, “Tahukan siapa orang ini, Abu Sufyan?”

 

Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”

 

“Dia adalah Hanzhalah, anakku sendiri.” Kemudian, mereka memanggil semua orang untuk meninggalkan tempat itu sehingga jenazah Hanzhalah tidak ada yang mengurus. Semua syuhada telah dimakamkan kecuali Hanzhalah.

 

Ketika Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam mengetahui nasih Hanzalah, beliau bersabda, “Sesungguhya sahabat kalian itu dimandikan para malaikat. Tanyalah kepada keluarganya, bagaimana keadaannya?”

 

Sebagian orang bertanya kepada istrinya, dan ia menjawab, “Ketika mendengar panggilan berjihad, ia langsung pergi, padahal ia dalam keadaan junub.”

 

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam bersabda, “Karena itulah ia dimandikan oleh para malaikat.” Ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam itu cukup menjelaskan betapa luhur kedudukan Hanzhalah di sisi Allah serta di mata Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wasallaam, dan seluruh kaum muslim.