Abu Dzar al-Ghifari

Suatu hari, masyarakat Madinah dibikin heboh oleh kedatangan kafilah yang teramat panjang. Saking besarnya rombongan, debu pasir yang beterbangan terlihat dari kejauhan.

Tampak orang yang berjalan kaki, menunggang kuda, unta, atau menuntun hewan pengangkut barang. Kalau saja tidak terdengar sayup gema takbir, orang-orang madinah akan mengira mereka akan diserang oleh pasukan musyrik.

Tampak dari jauh, Abu Dzar al-Ghifari memimpin kafilah besar itu. Masih sama dengan beberapa tahun sebelumnya, Abu Dzar datang tanpa atribut kemewahan. Dia adalah pelopor hidup sederhana.

Ini adalah kafilah dari Kabilah Ghifari, dan juga Aslam. Mereka telah masuk Islam dengan jumlah yang besar. Masuk Islamnya dua kabilah ini membuat kekuatan Islam semakin diperhitungkan.

Termasuk dalam rombongan ini, mantan penyamun alias garong dan komplotan maksiat. Melalui Abu Dzar Mereka telah berubah menjadi rombongan pendukung kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Gema takbir makin terdengar kencang. Maka Rasulullah pun menyambut sahabat yang dikenal dari keberaniannya mengungkapkan keberanian ini.

Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang baru datang tersebut dengan berseri-seri. Pandangannya diliputi rasa haru dan cinta kasih.

Sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau bersabda, " Suku Ghifar, yang telah di-ghafar (diampuni) Allah," kata Nabi.

Kemudian sambil menghadap suku Aslam, beliau bersabda, "Suku Aslam telah disalam (diterima dengan damai) oleh Allah," kata Rasulullah SAW.

Kemudian Nabi melihat Abu Dzar, sahabatnya yang penuh kemuliaan. "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar," ucap Rasulullah SAW.

Sabda Rasulullah SAW ini terbukti di kemudian hari sepeninggal Nabi wafat terutama pada ketika fitnah merajalela pada zaman pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Diakui, saat itu masih banyak sahabat Nabi yang jujur, cerdas dan benar.

Namun, tak ada yang melampaui keberanian Abu Dzar mengucapkan kebenaran. Terutama dalam sikap kritisnya terhadap para penguasa, gubernur, dan pejabat negara yang hidup bergelimang harta.

Abu Dzar adalah pelopor hidup sederhana yang amat membenci kemewahan dunia. Dia melihat sudah ada benih bahaya, ketika kepentingan pribadi bercampur dengan kepentingan negara dan agama.

Maka Abu Dzar lantas pergi menemui para pembesar dengan mengungkapkan kebenaran. Bahwa ajaran agama bukanlah suatu kerajaan, bukan untuk memungut upeti, dan bukan ajang sombong. Dalam Islam tak ada sistem kasta, sederhana bukan hidup boros