Pak Guru

Tak ada orang sukses yang bercita-cita jadi guru. Kalimat pahit yang terus aku dengan selama menuntut ilmu di kampus keguruan. Lalu mengapa mereka ada di sini. Kalau mereka ada di kampus ini artinya suatu saat mereka akan menjadi seorang guru. Demikianlah, sebuah kalimat yang kamu lontarkan tak mesti dijelaskan.

Aku sendiri terganggu dengan kalimat itu. Lama-kelamaan ikut-ikut menyetujuinya, walau tidak seratus persen. Setelah aku jadi guru nanti, pada teman-teman yang aku tanya, aku hampir tak bertemu mereka yang memang menjadikan guru sebagai cita-cita.

Setelah aku jadi guru nanti, ternyata setiap anak muridku yang aku tanyai cita-citanya, tak ada yang berniat menjadi guru.

Semua orang tahu jawabannya. Tapi, biarlah aku ulangi untuk menghilangkan keraguan. Karena guru itu miskin. Karena guru tidak terlalu terhormat di tengah masyarakat. Karena guru bukan tergolong orang pintar. Karena guru tidak tergolong orang hebat.

Mata anak itu begitu tajam. Seumur hidup baru ini aku melihat mata setajam itu. Tajam menusuk, mengiris hati. Penuh amarah, perlawanan.

"Kamu kan melanggar aturan. Itu artinya kamu harus mendapat sanksi."

"Salah saya apa Pak"

Badannya tegap berisi. Tinggi sedang.

"Kamu terlambat tiap hari. Satu lagi, coba kamu belajar sopan pada gurumu."

Aku coba pegangi tangannya untuk membawa ke meja admin piket harian. Namanya harus dicatat sebagai siswa yang terlambat hari itu. Anak ini memang selalu, selalu terlambat.

Di luar dugaan, ia menangkis uluran tanganku. Lalu berjalan menjauh. Badannya tegak dan dadanya membusung. Aku yakin, ia memiliki kekuatan yang sempurna. Anak kelas akhir sekolah menengah atas.

Penyakitku kambuh lagi. Penyakit tak bisa mengendalikan emosi.

"Kamu mau taati aturan sekolah ini atau tidak!!!"

Prakk!! Telapak tanganku menghantam meja piket. Menimbulkan suara dentuman yang mendekati ledakan Hirosima.

Terkejut juga.

Guru-guru berhamburan dari kantor. Segera ruang piket jadi ramai. Kepala sekolah langsung menengahi. Aku dan si anak dibawa ke ruang kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah memberi nasihat, dan kami berdamai.

Ekonomi sebagai guru jalan di tempat. Emang begitu. Aku sering memaksa diriku sendiri untuk mencintai profesi ini. Karena tak ada pilihan lain selain harus mencintai profesi ini. Karena aku akan bahagia kalau menjalani dengan penuh cinta.

Bertahun-tahun sejak awal mengajar, aku telah belajar. Belajar mencintai status sebagai guru.

Aku berhasil. Tak banyak.

Aku akan terus jadi guru. Iya.

Aku akan mati sebagai Pak Guru. Iya.

Insya Allah.