H.R. Muhammad Mangundiprojo

Kehidupan 

H.R. Muhammad Mangundiprojo lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Januari 1905.  Muhammad Mangundiprojo adalah cicit dari Sultan Demak, Sutodiwiryo atau Kiai Ngali Muntoha. Muhammad Mangundiprojo lulus dari OSVIA atau sekolah pegawai negeri sipil tahun 1927.  Setelah lulus, ia bekerja sebagai Pamong Praja, wakil kepala jaksa, dan asisten wedana, di Jombang, Jawa Timur.  Namun setelah Jepang menduduki Indonesia, Muhammad Mangundiprojo bergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA) tahun 1944. Ia pun mengenyam pendidikan militer di Surabaya.


Karier Militer 

Setelah lulus dari pendidikan militer, Muhammad Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di Sidoarjo, Jawa Timur. Pasca kemerdekaan, seluruh anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR).  Kemudian ia juga menjabat sebagai bendahara BKR Jawa Timur.  Tanggal 5 Oktober 1945, BKR pun ditingkatkan fungsinya dan berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Operasi militer terbesar yang pernah dilalui oleh Muhammad Mangundiprojo adalah ketika pasukan Belanda (NICA) tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945.  Ia bersama Bung Tomo, Dul Arnowo, Abdul Wahab, dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu seluruh penjuru Surabaya. Setelah mengakhiri kariernya dalam dunia militer, Muhammad Mangundiprojo ditugaskan menjadi Bupati Ponorogo periode 1951 sampai 1955.  Semasa menjabat sebagai bupati ia mengamankan Madiun setelah pemberontakan PKI Muso pada 1948. 


Pertempuran Surabaya 

Sampai pada 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu melakukan pertemuan dengan Moh. Hatta untuk melangsungkan aksi gencatan senjata. Dari pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Urip Sumoharjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur.  Masih di hari yang sama, Mangundiprojo bersama Brigadir Mallaby berkeliling Surabaya. Mereka memantau kemajuan gencatan senjata di sana. Di Jembatan Merah depan Gedung Internatio, rombongan berhenti karena melihat tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh para pemuda Indonesia. Melihat hal ini, Muhammad Mangundiprojo berusaha bernegosiasi. Namun Muhammad Mangundiprojo justru disandera oleh tentara Gurkha sampai terjadi bentrok senjata antara Inggris dan pemuda Surabaya. Dalam pertempuran ini Brigadir Mallaby yang tewas di dalam mobilnya yang terbakar dan meledak.  Tewasnya Mallaby ini sontak memicu kemarahan pihak Inggris. Inggris kemudian melakukan ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka. Tentu saja ultimatum ini ditolak oleh Muhammad Mangundiprojo. Dari perbedaan pendapat inilah kemudian muncul pertempuran pada 10 November 1945.  Pertempuran ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR.


Akhir Hidup 

Muhammad Mangundiprojo wafat di Bandar Lampung setelah diangkat menjadi Gubernur pertama Lampung.  Muhammad Mangundiprojo wafat tepatnya pada 13 Desember 1988. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung.  Atas jasa-jasanya, Presiden Joko Widodo pun menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2014.