Surastri Karma Trimurti
Satu nama yang selalu dikenang ketika Hari Pers Nasional tiba adalah Surastri Karma Trimurti. Sosok yang juga akbar dikenal sebagai SK Trimurti itu merupakan perempuan pejuang kemerdekaan pers di Indonesia. Sosok yang dikenal sebagai wartawan, penulis dan guru Indonesia ini juga pernah aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan oleh Belanda pada 1930-an.
Trimurti sendiri lahir pada 11 Mei 1912 di Desa Sawahan, Boyolali, Karesidenan Surakarta. Ayahnya bernama R.Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan ibunya bernama R.A. Saparinten Mangunbisomo. Ayah dan ibunya abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
Ketika menginjak usia remaja, Trimurti singgah ke Banyumas dan daerah ini lah yang menjadi tonggal awal bagi Trimurti dalam mengenal dunia organisasi dan perjuangan. Setelah itu, Trimurti pun berkiprah aktif dalam pergerakan. Setelah dewasa, Trimurti sadar bahwa ia tidak setuju dengan model aturan orang tuanya yang membedakan peran perempuan dan laki-laki.
Apalagi soal stereotipe yang menempatkan perempuan harus lebih banyak di dapur dan tak boleh sering keluar rumah. Trimurti menolak semua aturan feodal tersebut. Menurutnya, seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk memajukan diri baik dalam hal akademis maupun sosial.
Trimurti sendiri awalnya adalah seorang pengajar setelah meninggalkan Tweede Indlandsche School. Ia mengajar di sekolah-sekolah dasar di Bandung, Surakarta dan Banyumas pada 1930-an. Namun, ia ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 lantaran menyebarkan pamflet anti-penjajahan. Kala itu, ia dipenjara selama sembilan bulan di Penjara Bulu di Semarang.
Soekarno dan Perkenalannya dengan Dunia Jurnalistik
Setelah keluar dari penjara, Trimurti justru beralih profesi. Ia memutuskan berhenti menjadi guru dan mendedikasikan dirinya sebagai aktivis kemerdekaan dan terjun ke dunia jurnalistik. Lalu, Trimurti pindah ke Bandung dan mengikuti pelatihan kader Partai Indonesia (Partindo) dan saat itu Trimurti sempat tinggal di rumah Inggit, istri pertama Soekarno.
Trimurti rela melepaskan statusnya sebagai guru negeri dan memilih bergabung dengan Partindo cabang Bandung. Keputusan besar yang sangat ditentang oleh keluarganya. Ia memilih bergabung dengan Partindo cabang Bandung karena ingin berguru langsung kepada Soekarno.
“Saya sendiri masuk kepada partai politik itu pada tahun 1933. Waktu itu saya berada di Bandung. Saya berguru pada Bung Karno, belajar politik pada beliau,” kata Trimurti.
Soekarno sendiri akhirnya menjadi orang pertama yang meminta Trimurti untuk menulis di majalah Pikiran Rakyat. Boleh jadi ini jadi perkenalan pertama Trimurti dengan dunia jurnalistik.
Melihat dedikasi dan semangatnya yang tinggi, Soekarno meminta Trimurti menjadi pemimpin redaksi majalah Pikiran Rakyat, majalah yang secara khusus menyebarluaskan gagasan bahwa kaum perempuan Indonesia akan dapat meraih nasib baik hanya di dalam suatu masyarakat yang merdeka, adil dan makmur.
Saat itu usia Trimurti baru 21 tahun. Aktivitas politik dan jurnalistik Trimurti membuatnya sering keluar masuk penjara kolonial, baik di zaman Belanda maupun Jepang. Ia dianggap sebagai sosok wartawan kritis dan namanya terkenal di kalangan jurnalistik.
Bahkan, lantaran sering ditangkap dan jadi incaran, Trimurti sering menggunakan nama yang berbeda dalam setiap berita yang ia tulis. Namanya pernah disingkat menjadi hanya ‘Trimurti atau Karma’ saja dalam tulisan-tulisannya untuk menghindari penangkapan oleh pemerintah kolonial Belanda
Selama kariernya, Trimurti bekerja untuk sejumlah surat kabar Indonesia termasuk Pesat, Genderang, Bedung dan Pikiran Rakyat. Trimurti mendirikan majalah sendiri yang bernama Pesat setelah menikah dengan Sayuti Melik. Sayangnya majalah ini terpaksa ditutup lantaran dilarang oleh pemerintah militer Jepang.
Perjuangan Trimurti Pasca Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan Trimurti terus berlanjut setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 silam. Melalui Api Kartini dan Harian Rakyat, ia kerap memperjuangkan nasib perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Ia juga kerap mengkritik kebiasaan di masyarakat yang menganggap perempuan sebagai pelengkap atau hanya embel-embel laki-laki semata.
Bersama Trees Metty dan Umi Sardjono, Trimurti mendirikan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) sebuah organisasi perempuan Indonesia, pada tahun 1950. Lalu pada 1954, Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Gerwani sendiri merupakan organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an. Berbeda dengan kebanyakan organisasi perempuan pada masanya, Gerwani menjadi organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme, termasuk reformasi hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia.
Trimurti jadi salah satu sosok yang vokal dalam memperjuangkan isu hak-hak pekerja, yang mana jadi fokus penting dari Gerwani. Pada 1945, Trimurti ikut mendirikan Barisan Buruh Wanita, organisasi buruh perempuan pertama di Indonesia. Sepak terjang Trimurti pun tak hanya berhenti pada tataran aktivisme, namun mulai merambah ke pemerintahan.
Trimurti pun diangkat sebagai Menteri Ketenagakerjaan Indonesia yang pertama pada 1947, di bawah kabinet Amir Sjarifuddin. Pada 1959, ia sempat ditawari menjadi Menteri Sosial, namun akhirnya menolak karena hendak menyelesaikan studi Ekonomi di Universitas Indonesia.
Pemikiran tajam dan kritis dari sosok Trimurti memang tak pernah pudar hingga dirinya memasuki usia senja. Pada 1980, ketika usianya menginjak 68 tahun, Trimurti bersama 50 tokoh nasional lain menandatangani Petisi 50 yang mengkritik penyalahgunaan Pancasila sebagai dalih Soeharto dalam menyingkirkan lawan politiknya.
Munculnya SK Trimurti Award
Di era Orde Baru, nama SK Trimurti sempat ‘tersingkirkan’. Cerita kelam itu muncul ketika pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menetapkan Hari Pers Nasional. Pada momen yang sama, pemerintah saat itu juga memberikan penghargaan secara khusus kepada wartawan yang berusia hingga 70 tahun.
Menteri Penerangan Harmoko memberikan penghargaan kepada 10 wartawan senior dari beberapa surat kabar. Penerimaan sanjungan itu dilaksanakan di gedung Manggala Wana Bhakti pada malam harinya. Seperti dimuat dalam Harian Kompas yang terbit pada 11 Feberuari 1985, para wartawan itu mendapatkan penghargaan setelah adanya usul dari PWI kepada Dewan Pers yang sebelumnya teleh disetujui oleh pemerintah.
Mereka yang menerima hadiah, disaksikan oleh para wartawan dan karyawan pers yang datang lebih dari 5.000 orang. Namun, ada salah satu jurnalis senior yang berusia lebih dari 70 tahun dan tercatat sebagai salah satu pengibar bendera pusaka, namun tak menerima penghargaan. Ia adalah wartawati senior SK Trimurti.
Benar adanya bahwa saat itu pemerintah Orde Baru tak menyertakan nama Trimurti dalam daftar wartawan senior penerima penghargaan. Sayangnya, pemerintah kala itu juga tak memberikan penjelasan mengapa mencoret nama Trimurti. Ada dugaan bahwa ini disebabkan peran SK Trimurti yang pernah menjadi anggota Gerwani, salah satu organisasi yang diklaim dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Meski begitu, perjuangan Trimurti untuk kemerdekaan Indonesia justru mengilhami Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk mengabadikan namanya sebagai anugerah atau penghargaan dengan nama Trimurti Award.
Anugerah ini bertujuan untuk melestarikan semangat dan prinsip perjuangan Trimurti baik kepada aktivis perempuan atau jurnalis perempuan. SK Trimurti Award pun diinisiasi AJI dalam memberikan penghargaan kepada wartawan Indonesia.
Trimurti sendiri wafat pada 2008 saat usianya 96 tahun setelah dirawat selama dua minggu di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.