Perang Jawa Dipimpin Oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro atau biasa disebut Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Perang ini merupakan kekacauan terbesar yang dialami pada kekuasan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) dan mengakibatkan kerugian berupa hilangnya kas pemerintah dan tewasnya ribuan serdadu Belanda.
Perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang, baik dari pasukan militer maupun sipil sehingga perang ini dikenal sebagai pemberontakan paling berdarah dalam sejarah Hindia Belanda.
Penyebab Perang Diponegoro
Setelah wafatnya Sri Hamengkubuwono IV, Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 dikuasai oleh Residen Yogyakarta, bernama Hendrik Smissaert yang ikut campur urusan kekuasaan keraton.
Sementara itu, Jenderal van der Capellen menginginkan dan meminta seluruh tanah sewa dikembalikan kepada pemiliknya dengan kompensasi tertentu.
Namun, hal ini tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro karena akan menyebabkan keraton mengalami kebangkrutan.
Akan tetapi, Smissaert berhasil membujuk Ratu Ageng dan Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memutuskan kebijakan tersebut sehingga keraton terpaksa meminjam uang dari Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut.
Sebab Khusus Perang Diponegoro
Perang Diponegoro disebabkan oleh menguatnya pengaruh Belanda di dalam tubuh keraton. Sejumlah pejabat Belanda pun banyak menodai adat istiadat keraton serta tidak menghormati Islam sebagai agama resmi keraton.
Di sisi lain, banyak punggawa keraton justru memihak kepada Belanda karena mendapatkan banyak keuntungan.
Hal ini menyebabkan pangeran Diponegoro memutuskan hubungan dengan kerajaan pada Oktober 1824 dan kembali ke Tegalrejo. Di Tegalrejo, ia membahas kemungkinan untuk melakukan pemberontakan pada bulan Agustus di tahun berikutnya.
Perang akhirnya terjadi pada Mei 1825 ketika Smissaert memperbaiki jalan Yogyakarta-Magelang melalui Tegalrejo.
Perbaikan jalan tersebut melewati batas atau patok makam leluhur Diponegoro sehingga membangkitkan amarahnya. Tak tinggal diam, ia memerintahkan mengganti patok tersebut dengan tombak sebagai simbol perang terhadap keraton Yogyakarta dan Belanda.
Kronologi Perang Diponegoro
Keraton Diponegoro mencoba menangkap Diponegoro untuk mencegah perang. Pihak keraton merasa Diponegoro terlalu fanatik terhadap keagamaan sehingga mengabaikan tugasnya sebagai wali raja.
Untuk menangkap Diponegoro, kediaman Diponegoro dibakar, namun ia dapat melarikan diri dan pergi ke Kulonprogo hingga Bantul.
Disana, ia membuat suatu perkumpulan dan berhasil mengajak masyarakat untuk bergabung dalam perang suci.
15 orang pangeran bergabung dengan Diponegoro. Ia juga merekrut bandit profesional untuk melawan Belanda.
Pertempuran terjadi di puluhan desa. Pangeran Diponegoro menyerbu pusat-pusat kekuatan Belanda saat musim hujan tiba karena Belanda lebih memilih gencatan senjata pada musim hujan. Jalur-jalur logistik dan pabrik untuk merakit bom dibangun di hutan-hutan.
Sementara Belanda lebih memilih mengadakan propaganda dan mengajak masyarakat untuk melawan pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1828, Jenderal de Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel sehingga berhasil menangkap Kyai Mojo.
Menyusul pada tahun berikutnya, 1829, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasyah menyerah kepada Belanda. Akhirnya, pada Maret 1830, Pangeran Diponegoro yang terjepit di Magelang memilih menyerah dengan catatan anggota-anggota laskarnya dibebaskan seutuhnya.
Tokoh dalam Perang Diponegoro
Untuk melancarkan aksi perang, Pangeran Diponegoro dibantu oleh beberapa elemen masyarakat di bawah ini
Perang Diponegoro
Saat Perang terjadi, Pangeran Diponegoro masih menjabat sebagai wali raja bagi Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng dan Patih Danuredjo.
Namun, karena kebijakan Belanda yang dinilai merugikan para petani serta keraton menjadi bangkrut, ia memilih untuk memutuskan hubungan dengan keraton dan mempersiapkan perang suci selama lima tahun.
Kyai Mojo
Kyai Mojo adalah seorang ulama. Ia membantu Pangeran Diponegoro untuk melancarkan aksinya dan selaku pemimpin spiritual dan panglima perang.
Namun, hubungan dengan Pangeran Diponegoro berubah ketika Diponegoro menggunakan sentimen Jawa tentang Ratu Adil sebagai penyelamat masyarakat dan penindasan pada tahun 1828, karena menurut Kyai itu dianggap sebagai penyimpangan dari kebenaran. Kyai Mojo berhasil ditangkap Belanda di Sleman dan dibawa ke Salatiga.
Sentot Alibasah Prawirodirdjo
Pangeran Diponegoro memanfaatkan situasi untuk menarik dukungan dari Sentot. Pasalnya, Sentot adalah keponakan dari Hamengkubuwono IV yang memiliki dendam dengan Belanda karena ayahnya, Ronggo Prawirodirjo, tewas ketika masa pemerintahan Daendels.
Pada tahun 1829, Sentot menyerah kepada Belanda dan dikirim untuk mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri. Namun, ia berkhianat dan memasok senjata bagi pemberontak sehingga diasingkan ke Bengkulu.
Hendrik Smissaert
Hendrik Smissaert adalah Residen Yogyakarta yang dipilih oleh Gubernur Jenderal untuk menangani wilayah tersebut. Smissaert menduduki tahta selama sekitar 31 bulan sebagai pemimpin keraton.
Namun, hal ini dianggap sebagai penghinaan terhadap masyarakat Jawa, karena memasang patok jalan yang melewati batas makam leluhur Diponegoro. Smissaert adalah orang yang berperan besar dalam tercetusnya Perang Diponegoro.