Maluku Angkat Senjata

Bangsa Portugis adalah orang Eropa pertama yang tiba di Maluku pada 1512 dan diterima baik oleh masyarakatnya, terutama di Ternate dan Ambon. Bahkan oleh raja Ternate, Portugis diminta untuk membantu melawan Tidore dengan imbalan berupa cengkih. Di Hitu, Portugis telah diizinkan untuk mendirikan loji sebagai tempat tinggal dan penampungan rempah-rempah sejak 1515. Kemudian pada 1522, resmi terjalin suatu hubungan dagang antara Portugis dan Ternate. Namun, hubungan baik di antara kedua pihak tidak berlangsung lama. Konflik yang semakin memanas bahkan memicu rakyat Maluku untuk mengangkat senjata melawan Portugis.

Persaingan dalam penyebaran agama Di Maluku

Portugis pertama kali mengamankan hubungan dagang dengan Kerajaan Hitu di Ambon yang bercorak Islam. Namun, pada 1516, orang-orang Portugis mulai menjual minuman keras kepada penduduk setempat hingga menimbulkan kekacauan di pasar cengkih. Kegiatan bangsa penjajah itu tentunya bertentangan dengan upaya para sultan setempat dalam menyebarkan dan meluaskan agama Islam. Terlebih lagi, kegiatan kristenisasi yang dilakukan bangsa Portugis di Maluku semakin meluas pula. Akibat persaingan dalam penyebaran kedua agama itu, Portugis diusir dan diminta untuk pindah ke bagian selatan Hitu, yang mayoritas penduduknya belum memeluk Islam. Di Hatiwe-Tawiri, Portugis menetap dalam waktu cukup lama dan banyak di antara mereka menikah dengan penduduk setempat. Pada 1520, Portugis menyerang Hitu dengan dibantu oleh penduduk Hatiwe-Tawiri. Sejak itu, rakyat Hitu mulai aktif melawan Portugis. Permusuhan di antara keduanya semakin memuncak ketika rakyat Hitu membantu Ternate melawan Portugis yang menyebarkan agama Katolik dengan licik dan paksaan.

Portugis mengganggu perdagangan Tidore 

Tidore sejak awal telah melawan Portugis karena perselisihannya dengan Kerajaan Ternate. Perlawanan rakyat Tidore semakin sengit ketika kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis ini, yang menyebabkan rakyat Tidore angkat senjata dibantu oleh Spanyol.

Portugis memaksakan monopoli perdagangan 

Salah satu perlawanan bersenjata terhadap Portugis yang paling besar terjadi di Ternate. Hal ini dapat dimengerti karena kebencian mereka terhadap bangsa penjajah disebabkan oleh masalah politik, ekonomi, bahkan sosial. Pada mulanya, Kerajaan Ternate menyambut Portugis dengan hangat dan menyepakati perjanjian damai untuk melawan Tidore. Sebagai imbalan atas jasanya membantu melawan Tidore, maka pada 1522 resmi terjalin suatu hubungan dagang antara Portugis dan Ternate. Namun, setelah Portugis memonopoli perdagangan rempah-rempah dan mengadu domba antara penduduk Maluku, timbul rasa benci di hati orang-orang Ternate. Pasalnya, keserakahan Portugis yang diwujudkan dalam rendahnya harga cengkih, membuat rakyat Ternate bahkan Maluku sengsara. Selain itu, praktik monopoli juga dilakukan dengan melarang penduduk berdagang rempah dengan bangsa lain dan menangkap kapal-kapal dagang penduduk. Tidak tahan dengan kegiatan Portugis, seluruh rakyat Maluku bangkit melawan Portugis. Bahkan mereka berjanji apabila gagal mengusir bangsa penjajah, lebih baik pohon cengkih di negerinya ditebang dan dirusak.

Campur tangan Portugis dalam urusan kerajaan 

Kepercayaan yang didapatkan bangsa Portugis dari Kerajaan Ternate ternyata perlahan-lahan disalahgunakan. Portugis diketahui sering ikut campur dalam urusan pemerintahan dan bertindak sewenang-wenang terhadap para sultan Ternate. Perilaku sewenang-wenang Portugis memicu perlawanan rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Khairun pada 1565. Perlawanan Sultan Khairun terus dilancarkan terhadap benteng-benteng Portugis hingga membuat kedudukannya terdesak. Menghadapi situasi itu, Portugis menangkap dan mengasingkan Sultan Khairun di sebuah benteng.

Pembunuhan Sultan Khairun 

Penangkapan Sultan Khairun membuat kebencian rakyat terhadap Portugis semakin meluas hingga timbul pemberontakan. Pada akhirnya, Sultan Khairun dibebaskan dan Portugis mengaku ingin mengadakan pertemuan untuk berunding. Kemarahan luar biasa dari masyarakat Maluku Utara terhadap bangsa Portugis terjadi saat Sultan Khairun dikhianati. Pada 1570, Sultan Khairun ditipu dan dengan diam-diam dibunuh di Benteng Sao Paolo dengan dalih untuk berunding. Pembunuhan ini memicu perlawanan lanjutan yang lebih besar dari rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Baabullah, putra Sultan Khairun.