Aceh VS Portugis VS VOC
Aceh adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di ujung utara pulau Sumatera. Aceh memiliki peran penting dalam sejarah perdagangan dan politik di Nusantara, khususnya pada abad ke-16 dan ke-17. Pada masa itu, Aceh mengalami konflik dan persaingan dengan dua kekuatan kolonial asing, yaitu Portugis dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda).
Pada tahun 1511, Portugis berhasil merebut Malaka dari Kesultanan Malaka yang beragama Islam. Malaka merupakan bandar perdagangan yang strategis dan ramai di Selat Malaka, yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan. Dengan menguasai Malaka, Portugis berusaha mengontrol perdagangan rempah-rempah dan barang-barang lainnya di kawasan tersebut.
Namun, keberadaan Portugis di Malaka tidak disukai oleh para pedagang Islam, termasuk dari Aceh. Mereka merasa terganggu oleh monopoli dan pajak yang dikenakan oleh Portugis. Selain itu, mereka juga khawatir akan penyebaran agama Kristen oleh Portugis. Oleh karena itu, banyak pedagang Islam yang mengalihkan aktivitas perdagangan mereka dari Malaka ke Aceh.
Aceh pun berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan yang makmur dan kuat. Aceh juga memiliki hubungan baik dengan negara-negara Islam lainnya, seperti Turki Utsmani, Persia, India, dan Arab. Aceh juga memperkuat armada lautnya dengan membeli senjata dan kapal dari luar negeri.
Perlawanan Aceh Terhadap Portugis
Aceh tidak hanya puas menjadi bandar perdagangan, tetapi juga ingin menjadi kekuasaan politik di Nusantara. Untuk itu, Aceh berambisi untuk merebut kembali Malaka dari tangan Portugis. Selain itu, Aceh juga ingin mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaannya dari campur tangan asing.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar (1537-1568), Aceh berhasil menaklukkan beberapa kerajaan di pantai barat Sumatera, seperti Aru, Pidie, Daya, Pasai, dan Deli. Aceh juga menguasai beberapa pelabuhan penting di pantai timur Sumatera, seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Banten.
Pada tahun 1568, Aceh melancarkan serangan besar-besaran ke Malaka dengan bantuan dari Turki Utsmani. Namun, serangan ini gagal karena pertahanan Portugis yang kuat di Benteng Formosa. Aceh kehilangan banyak kapal dan prajuritnya dalam pertempuran ini.
Sebagai balasan, pada tahun 1569, Portugis menyerang Aceh dengan armada besar yang dipimpin oleh Gubernur Malaka Antonio Moniz Barreto. Namun, serangan ini juga gagal karena perlawanan sengit dari pasukan Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud Syah. Portugis terpaksa mundur dengan kerugian besar.
Perang antara Aceh dan Portugis berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang dikenal sebagai puncak kejayaan Aceh. Sultan Iskandar Muda berhasil memperluas wilayah kekuasaan Aceh hingga ke Semenanjung Malaya, Sumatera Selatan, Nias, Simeulue, Mentawai, Enggano, dan sebagian Kalimantan.
Pada tahun 1629, Sultan Iskandar Muda kembali menyerang Malaka dengan armada besar yang terdiri dari 500 kapal dan 60.000 prajurit. Namun, serangan ini juga tidak berhasil karena pertahanan Portugis yang tangguh. Sultan Iskandar Muda terluka dalam pertempuran ini dan meninggal beberapa tahun kemudian.
Perlawanan Aceh Terhadap VOC
Sementara itu, pada akhir abad ke-16, muncul kekuatan kolonial baru di Nusantara, yaitu Belanda. Belanda datang dengan tujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan mengalahkan Portugis. Belanda membentuk VOC pada tahun 1602 sebagai perusahaan dagang yang memiliki hak monopoli, militer, dan diplomasi.
VOC berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan Aceh, karena menganggap Aceh sebagai sekutu potensial melawan Portugis. VOC juga ingin mendapatkan akses perdagangan di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Aceh. Untuk itu, VOC mengirimkan utusan-utusan dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan Aceh.
Namun, hubungan antara Aceh dan VOC tidak selalu harmonis. Terkadang terjadi gesekan dan bentrokan karena adanya persaingan dan ketidakpercayaan. Aceh merasa tidak nyaman dengan kehadiran VOC yang semakin kuat dan mengancam kedaulatan dan kemerdekaannya.
Pada tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari Portugis dengan bantuan dari Johor. Hal ini membuat Aceh merasa kecewa dan marah, karena merasa haknya atas Malaka telah direbut oleh VOC. Aceh pun berusaha untuk merebut kembali Malaka dari tangan VOC.
Pada tahun 1642, Aceh menyerang Malaka dengan armada besar yang dipimpin oleh Laksamana Abdul Jalil. Namun, serangan ini juga tidak berhasil karena pertahanan VOC yang kuat. Aceh kembali kehilangan banyak kapal dan prajuritnya dalam pertempuran ini.
Perang antara Aceh dan VOC berlanjut hingga abad ke-18, dengan berbagai pergolakan dan pemberontakan di berbagai daerah yang dikuasai oleh VOC. Aceh terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan kejayaannya dari ancaman kolonialisme.