Kisah Sahabat Nabi Yang Membuat Rasulullah SAW Menangis Haru
Di suatu hari, sesaat sholat shubuh selesai berjamaah bersama Rasulullah, Abu Dujanah selalu pulang dengan tergesa-gesa dan selalu tidak mengikuti doa selepas sholat yang dipanjatkan oleh Rasulullah langsung. Melihat hal itu, Rasulullah mencoba untuk mencari tahu alasan dari kebiasaan Abu Dujanah tersebut.
Rasulullah saw bertanya kepada Abu Dujanah, “Wahai Abu Dujanah, apakah engkau tidak memiliki permintaan yang perlu engkau panjatkan ke hadirat Allah sehingga engkau sering meninggalkan masjid sebelum aku selesai berdoa?”. Kemudian Abu Dujanah menjawab, “Begini Rasulullah, rumah kami berdampingan persis dengan seorang laki-laki. Di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin berhembus di malam hari, kurma-kurma tersebut jatuh di rumah kami.”
“Wahai Rasul, kami keluarga orang yang tidak berpunya. Anakku sering kelaparan. Saat anak anak kami bangun, apapun yang didapat, mereka makan. Oleh karenanya, setelah selesai shalat, kami bergegas segera pulang sebelum anak-anak kami terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami yang berceceran di rumah, lalu kami kembalikan kepada pemiliknya.”
Abu Dujanah kemudian menceritakan kejadian dimana anaknya kedapatan memakan kurma yang jatuh dari pohon tetangganya itu. Maka, ia pun berupaya sekuat tenaga untuk mengeluarkan kurma yang terlanjur dimakan tadi dari mulut anaknya. “Nak janganlah engkau mempermalukan ayah di akhirat kelak.” Anak Abu Dujanah menangis, kedua matanya mengalir air mata karena sangat kelaparan.
Wahai Rasulullah, kami katakana Kembali kepada anakku itu, “Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak”.
Mendengar kisah tersebut, Rasulullah SAW berkaca-kaca, butiran air mata mulianya mulai jatuh begitu deras. Baginda Rasulullah pun mencoba mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu Dujanah itu. Dan Abu Dujanah mengatakan kepada Rasulullah bahwa pemilik pohon kurma itu adalah seorang laki-laki munafik.
Rasulullah pun mendatangi pemilik pohon kurma itu, dan mengatakan kepadanya, “Apakah engkau bisa menjual pohon kurma itu? Aku akan membelinya dengan pohon senilai 10 kali lipat. Pohon itu terbuat dari batu zamrud berwarna biru, disirami emas merah, tangkainya dari Mutiara putih, disitu pula ada bidadari yang cantik sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada.”
Laki-laki munafik ini menjawab dengan tegas, “Aku tidak pernah berdagang dengan system jatuh tempo. Aku juga tidak mau menjual apapun kecuali dengan uang kontan dan ingin dibayar saat ini juga.”
Namun secara tiba-tiba, salah seorang sahabat nabi dating dan berkata, “Ya Sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milikmu yang jenisnya tidak ada di kota ini (jenisnya lebih bagus).” Sahabat itu adalah Abu Bakar as-Shiddiq.
Laki-laki itupun menjawab kegirangan, “Baik, aku jual.”
Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat membeli, Abu Bakar langsung menyerahkan pohon kurma itu kepada Abu Dujanah.
Rasulullah kemudian berkata, “Hai Abu Bakar, aku yang akan menanggung gantinya untukmu.”
Mendengar sabda Nabi, Abu Bakar bergembira bukan main, begitu pula dengan Abu Dujanah yang Bahagia. Sementara si laki-laki munafik tadi berjalan mendatangi istrinya seraya bercerita tentang hal yang baru saja terjadi kepada dirinya.
“Aku telah mendapat banyak untung hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dulu dan buahnya tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kitaitu sedikitpun.”
Malamnya saat si laki-laki munafik itu tertidur lelap telah terjadi sesuatu, dan saat bangun di pagi harinya, tiba-tiba pohon kurma yang ia miliki sebelumnya itu berpindah posisi, menjadi berdiri di atas tanah milik Abu Dujanah. Dan tempat asal pohon itu tumbuh, saat ini rata dengan tanah, seolah-olah tak pernah sekalipun tampak pohon itu tumbuh di atas tanah si munafik