Opu Daeng Risaju (Sulawesi Selatan)
Opu Daeng Risaju (Sulawesi Selatan)
Sebagai seorang putri keturunan berdarah biru/bangsawan, Opu Daeng
Risadju telah tertanam sikap dan jiwa patriotisme dalam dirinya. Apalagi, ia
juga memiliki daya kharismatik terhadap masyarakat Luwu baik Luwu bagian
selatan, Utara dan Luwu bagian Timur serta Palopo ibukota Kerajaan Luwu.
Kemampuan dan kepemimpinan yang melekat pada jiwa dan semangat Opu Daeng
Risadju terlihat juga pada usaha dan pengorbanannya di dalam melakukan berbagai
aktivitas perjuangan dalam merintis kemerdekaan Republik Indonesia.
Awal Abad XX (20) merupakan cikal bakal awal perjuangan Opu Daeng
Risadju dengan ikut menjadi anggota Partai Serekat Islam Indonesia (PSII)
cabang Pare-pare pada tahun 1927. Pada tanggal 14 Januari 1930, ia terpilih
sebagai Ketua PSII di wilayah Tanah Luwu Palopo, sehingga dengan jabatan
sebagai ketua partai Opu Daeng Risadju sering mengikuti/ menghadiri kongres
PSII baik dari Sulawesi Selatan maupun PSII Pusat dari Batavia.
Karena dianggap sebagai duri bagi Pemerintahan Kolonial Belanda di Tanah
Luwu, akhirnya Controleur Masamba menangkap Opu Daeng Risadju bersama ± 70
orang anggota PSII di Malangke dan dimasukkan ke dalam penjara Masamba dengan
maksud untuk mengurangi aksi-aksi atau gerakan perlawan terhadap Belanda serta
menghadang perluasan ajaran PSII.
Pada tanggal 9 Februari 1942, Jepang melakukan pendaratan di Makassar
yang kemudian menyusul pula ke daerah-daerah sekitarnya termasuk Tana Luwu.
Dengan adanya pendudukan Jepang di Tana Luwu pun membuat semangat Opu Daeng
Risadju semakin berkobar untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan di
daerahnya.
Namun setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, ternyata NICA ikut
memanfaatkan kedatangan tentara Sekutu untuk kembali menguasai republik ini
termasuk di Tanah Luwu Sulawesi Selatan. Pada tahun 1956, Opu Daeng Risadju
beserta pemuda republik melakukan serangan terhadap tentara NICA melakukan
serangan balik terhadap pasukan Opu Daeng Risadju meskipun banyak anggota
pemuda republik yang gugur.
Beberapa bulan kemudian, mata-mata NICA berhasil mengetahui
keberadaannya. Akhirnya ia disergap dan ditangkap kemudian dipaksa berjalan
kaki ± 40 Km menuju Watampone.
Di sanalah ia dipenjarakan selama sebulan lalu dibwaa ke Sengkang dan
dipulangkan ke Bajo. Ia menjalani tahanan tanpa diadili selama 11 bulan yang
kemudian menetap di Belopa. Selama di sana, Opu Daeng Risadju mengalami
berbagai penyiksaan sehingga akhirnya telinganya menjadi tuli seumur hidup.
Karena semakin bertambah usia, setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949,
ia pindah ke Pare-Pare bersama putranya H. Abdul Kadir Daud dan setelah
putranya meninggal dunia, maka Oppu Daeng Risadju kembali ke Palopo kemudian ia
jatuh sakit dan menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 10 Februari 1964
di Palopo.
Melihat perjuangan Opu Daeng Risadju tersebut, ia ternyata telah
memegang peranan penting dan secara aktif dalam perjuangan kebangkitan nasional
dan masa revolusi fisik kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Tanah Luwu
khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Oleh karena itu, ia sering
dijuluki Srikandi Tanah Luwu.