15 (hari) Sudah

Akhirnya kita sampai juga di pertengahan Bulan suci Ramadhan 1444 H. setelah melewati fase 10 hari pertama dengan segala limpahan Rahmat, kita sedang merengkuh Maghfirah Allah SWT, Ampunan atas segala dosa-dosa kita untuk sampai Itqun Minannaar di 10 hari terakhir sebagai akhir perjuangan menuju pembebasan sesungguhnya.

Segala Kasih sayangNya, pengampunanNya dan pembebasan dari siksa api nerakaNya di Bulan suci Ramadhan ini, amatlah sayang dilewatkan dengan percuma dan biasa-biasa saja. Tentu kita tidak semata-mata mencari pahala dan keutamaan yang tiga tadi. Substansi dan hakikat paling tingginya dari tiga keutamaan itu adalah bagaimana kita menggapai Ridho Allah SWT sehingga kita benar-benar menjadi mahluknya yang muttaqin, yang apabila datang hari raya idul fitri kita kembali menjadi pribadi yang suci bersih yang terpancar pula dalam setiap ucap, tindak serta langkah kehidupan sebelas bulan berikutnya pasca bulan Ramadhan.

Ibadah puasa merupakan ruang kontemplatif yang sengaja Allah SWT berikan kepada kita selaku ummat Muhammad SAW. Pada dasarnya makna hakiki dari ibadah puasa ini adalah pada upaya untuk menahan diri dari segala hal yang akan merusak dan membatalkan puasa kita itu sendiri. Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan biologis mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Upaya menahan diri seperti itu boleh jadi sifatnya hanya jasadiah, hanya fisik yang erat kaitannya dengan segala apa yang ada dalam tubuh kita, indikatornya perasaan lapar, haus dan lainnya. Upaya menahan kebutuhan jasadiyah tadi memiliki manfaat secara kesehatan dan tentu juga relasi lainnya dengan perputaran darah pada bagian organ tubuh kita.

Namun demikian yang lebih penting daripada itu semua adalah, bahwa ibadah puasa ini merupakan wahana untuk menahan diri secara ruhani. Menahan diri kita dari segala sesuatu yang menyangkut non fisik, praktik-praktik kejiwaan yang mencerminkan kualitas pribadi dan ruhani kita. Menahan diri untuk memunculkan penyakit-penyakit hati, berbohong, menghasut, memfitnah, mendzalimi orang, iri, dengki, hasud, riya, takabur, sombong dan perbuatan lainnya yang mengindikasikan kemunafikan. Secara sosial kita juga harus menahan diri dari perkataan, tindakan dan aktifitas lainnya yang akan merusak kualitas ibadah kita. Di Bulan Puasa lebih diutamakan dengan menjalankan berbagai amaliah ramadhan yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

Di Bulan Ramadhan hal-hal yang mencerminkan ketidaksehatan, intrik, dan praktik-praktik culas yang merugikan orang lain hendaknya dihentikan, meski tentunya dalam bulan-bulan lain juga harus di tiadakan. Tapi paling tidak untuk di Bulan Ramadhan kita hormati keagungannya. Kita tekan ego manusia kita, ego kita yang merasa kuasa, merasa, besar, merasa kaya dan merasa kuat, merasa bisa berbuat apapun. Di Bulan Ramadhanlah segala ego itu kita jernihkan dulu, kita cuci dan kita bersihkan, kita kembalikan segalanya kepada kekuasaan, kekuatan dan kemaha kayaan Allah SWT pemilik alam semesta.

Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian. Oleh karenanya puasa merupakan bagian dari bentuk tarbiyah menuju kesalehan individual, personal dan emosional yang bersumberkan pada bagaimana kita mampu menahan dan mengendalikan diri serta nafsu kita. 

Masih baru seperdua perjalanan yang Kita jalani. Masih ada 15 hari lainnya.

Pun demikian, memperbanyak amal dan tetap istiqamah akan menjadikan Kita hamba yang 'berhasil'. 

Semoga Ibadah puasa kita membawa kita pada predikat Muttaqin.