AKU PULANG
Saat ini hari hampir berakhir, matahari tak berbekas, lampu-lampu rumah telah menyala, malam telah datang. Pohon-pohon di halaman telah menggelap, kebun-kebun di belakang rumah menghitam dan jalan setapak di bawah kakiku mulai memudar. Dari dulu hingga saat ini kampung ini tak berubah. Senyap, sepi dan hening ketika malam menjelang. Aku harus mempercepat langkahku, sebelum jalan kecil ini betul-betul hilang dalam pekat.
Pagar itu masih seperti dulu. Rumah itu tetap sama dan kesanku tak berubah pada tempat ini namun hatiku sangat resah, setelah lima tahun aku pergi. Kulangkahkan kakiku dengan dada berdebar mendekati pintu, samar-samar terdengar suara orang berbicara dari dalam, mungkin ibu, mungkin bapak, atau mungkin Narsih. Dengan hati-hati ku ketuk pintu tua itu, aku tak ingin mengagetkan mereka. 'Asslamualaikum…'Aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan gemuruh di dada. Gemuruh yang mampu menggigilkan badanku. Kuulangi lagi.'Asslamualaikum..'
Ketika jawaban itu datang ingin rasanya aku berbalik lari dan menghilang dalam gelap. Tapi aku tetap berdiri dengan kaki lemas dan menundukkan kepala.'Wa alaikum salam.' Jawaban itu dari ibu, aku tahu. Suaranya telah melemah dibanding sejak aku masih tinggal di sini dulu, sebelum aku pergi dengan perih dan duka. Perih dan duka yang mungkin juga di rasa oleh penghuni rumah ini yang lain. Aku mundur beberapa langkah mencoba berlindung pada temaram lampu teras. Pintu itu berkeriut terbuka, nampak wajah ibu yang tak kubayangkan betapa telah tuanya ia.
'Siapa ya…..? Suara itu meluluhkanku. Mungkin ia kurang jelas melihat sosok tubuhku dalam remang-remang.
'Aku Darman Bu…' Kujawab dengan suara bergetar. Hening beberapa saat. Mukaku semakin menunduk, dadaku semakin bergemuruh menahan rasa takut. Waktu yang beberapa detik itu terasa begitu lama dan menyiksa. Ibu telihat membelalakkan mata beberapa saat setelah jawabanku tadi masuk dalam pemahamannya.
'Darman., anakku..?! Ia menghambur mendekatiku dan menatap wajahku lekat-lekat, memastikan. Mungkin sejenak ia ingin memelukku, tapi ia urungkan. Kuambil tangan itu dan kucium dengan sepenuh jiwa. Ingin rasanya kuambil perasaan yang menyesakkan di dada ini dan kuserahkan ke telapak ibu, telapak yang telah berkeriput dan lembut itu. Ingin rasanya gemuruh ini hilang dalam belaiannnya. Tapi aku tahu itu tak mungkin.
'Siapa bu..?! terdengar suara ayah. Jantungku hendak lepas. Beliaulah yang dulu paling menentang keputusanku, beliaulah yang telah mengusirku dulu. Aku ingin lari. Tapi ibu masih memegang tanganku.
Ibu tidak menjawab. Ia menarik pelan tanganku menuju pintu. 'Tidak apa-apa…' Jawabnya membujukku. Aku menurut dengan kaki lemas dan tubuh lunglai.
'Itu ayahmu' kata ibu pelan sambil membawa tanganku kepada laki-laki itu. Ayahku telah sangat tua, ia hanya berbaring di tempat tidur, kurus sekali tubuh itu. Begitu banyak yang berubah di dalam rumah ini. Ruang tamu sempit ini rupanya telah berganti fungsi menjadi tempat istirahat bagi ayahku. Dadaku semakin bergejolak dan hatiku hancur. Ayah sudah tidak sekokoh dulu lagi. Ia telah sakit-sakitan dan lemah namun gurat-gurat kekakuan itu masih saja terlihat.
Ayah menoleh kearahku. Selama beberapa detik kulihat ia sangat terkejut. Tapi ia berusaha menutupinya. Ia palingkan lagi mukanya. ' Darman pulang pak….' Kata ibu sambil membimbingku.
'Hem…., katakan sudah habis semua, sudah tidak ada lagi yang bisa dijual' Kata laki-laki itu. 'Kalau mau, jual aja kursi bambu itu..!' Nadanya sinis dan mengandung amarah. Aku hanya diam, tak dapat berkata-kata. Aku memang salah, sampai kapanpun aku memang bersalah. Kucoba sekuat tenaga menjawab.'Tidak pak, saya tidak mau menjual apa-apa lagi..' Kata-katakku terasa tersendat sendat di kerongkongan. Aku sudah kehilangan semuanya saat ini, setelah menjual tanah sawah itu, aku telah gagal lagi menjalani hidupku. Pikirku dalam kepahitan dan kekalahan.
Lima tahun lalu, kejadian itu, begitu menancap di perasaan ini. Kujual sebidang tanah milik Bapak tanpa seijin beliau, untuk memulai sebuah usaha, usaha yang kurencanakan akan berhasil demi pernikahanku dengan Yanti. Kubawa pergi kekasihku itu, kupakai sebagiannya untuk menikah, dan sisanya untuk tanam modal dengan seorang temanku. Ayah mengamuk, sejak semula ia tidak setuju aku berhubungan dengan Yanti, apalagi tanah ladang subur itu tiba-tiba telah berpindah tangan gara-gara diriku. Aku dipaksa pergi dari rumah itu, Yanti ku ajak, ia setuju, orang tuanya yang tak merestui hubungan kami tak kami perdulikan. Kami pindah ke kota dan mencoba hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Nasib tak bisa ditolak, Yanti meninggalkanku setelah tiga tahun, pindah ke lain hati, karena usaha tanam modalku gagal, dan aku pengangguran. Setelah dua tahun aku ke sana ke mari, terlunta-lunta, mencari penghidupan yang layak dan gagal, akhirnya aku pulang. Pulang dengan kekalahan.
'Kau mau apa!' Tanya bapakku dengan dada naik turun menahan sakit dan marah.'Sudahlah pak….' Kata ibu pelan. ' Yang sudah, ya sudah, tidak ada yag bisa kita lakukan sekarang…'
Dada orang tua itu semakin naik turun dengan cepat.' Gara-gara dia Narsih tak bisa melanjutkan sekolah….' Suaranya semakin keras dan tersengal.' Demi Allah aku tak akan memaafkan dia…, sampai kapanpun!.
'Pak!!' Teriak ibu.'Apa-apan ini…, sudahlah kita ikhlaskan saja tanah itu, kita tidak mau kehilangan anak juga!
'Anak mana?!, Anakku Cuma Narsih'. Jawab Bapak dengan nada sinis.'Biarpun tak bisa mencangkul, tapi Narsih cukup kuat untuk bantu-bantu di ladang….., dan tak suka makan tanah'. Terusnya. Kulihat adikku itu berdiri dekat pintu. Ia baru datang dari luar.
'Narsih, jangan kau salami anak itu!' Teriak bapak melihat gadis itu mendekatiku. Adikku telah menjadi perawan cantik, kataku daam hati, sekelebat bercampur baur dengan perasaan yang hancur luluh menemui kenyataan ini.
Aku tak bisa menangis, rasanya nyawa ini telah meninggalkan raga. Tubuh ini tidak lagi lunglai, tapi kaku. Mulut ini bisu, tak ada kata-kata yang bisa keluar. Kedengar ibu menangis dan narsih juga sesenggukan. Kuputar tubuhku dan kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah itu. Rumah, dimana dulu ibu sering menggendongku menyanyikanku gending-gending jawa, rumah dimana aku sering bermain-main dengan gadis kecil Narsih. Rumah berlantai tanah, dimana aku selalu merasa hangat berkumpul bersama dengan ibu dan adik sambil makan sayur dan sambal. Rumah yang meskipun sempit tapi selalu kurindukan karena disana ada ibu dan Narsih. Aku tak pernah rindu bapak. Aku pulang hari ini, rindu ibu dan Narsih rindu berkumpul mereka. Tapi aku tak menemui keindahan itu. Keindahan yang kupikir akan menenangkanku, setelah hancur berumah tangga dan terlunta-lunta. Dan sampai kapanpun aku tak akan bisa kembali. Sampai kapanpun tak akan ada lagi keindahan, kesejukan dan kehangatan itu, sampai kapanpun aku tak bisa menjadi Darman lagi. Dan semua itu karena kesalahanku sendiri. Kugerakkan kakiku secepat-cepatnya menembus kegelapan malam, tak peduli teriakan ibu di belakang. Aku ingin lari sejauh-jauhnya dari semua ini, aku ingin pergi kemanapun yang bisa menampung jiwa hancur ini.
Malam semakin gelap. Suara lirih tangis di rumah berdinding bambu itu masih terdengar hingga menjelang pagi.
Darman telah pulang malam itu. Keesokon harinya tubuhnya ditemukan penduduk desa telah tak bernyawa, hanyut di sungai di pinggir hutan. Ia telah pulang