Memimpin (dengan) Hati
Mempengaruhi orang agar mengikuti kemauan kita sebagai seorang pemimpin tidak selalu mudah. Setiap orang selalu memiliki kemauannya masing-masing yang berbeda-beda. Padahal tugas sebagai seorang pemimpin adalah mempengaruhi dan mengajak orang yang dipimpinnya agar loyal dan mengikuti kemauannya.
Sulitnya mempengaruhi orang yang dipimpinnya itu, maka adakalanya seorang pemimpin menggunakan kekuatan uang. Para bawahan diberi uang, baik berupa gaji, insentif atau apa lagi namanya, agar mereka mau menunaikan tugas-tugas yang diberikannya. Memang ada saja orang yang ketika diberi uang, apalagi yang sedang memerlukannya, akan mengikuti pihak-pihak yang mendatangkan uang itu.
Menggerakkan orang dengan uang memang mudah dilakukan oleh siapapun asalkan memiliki uang. Akan tetapi, cara itu akan menjadikan hubungan-hubungan antara atasan dan bawahan diwarnai serba uang. Artinya seseorang menjalankan tugasnya ketika akan mendapatkan upah. Padahal sebagaimana sifat manusia pada umumnya, upah itu baru dirasakan menyenangkan manakala ada peningkatan jumlah yang diterimanya itu.
Selain dengan uang, menggerakkan orang juga bisa ditempuh lewat peraturan, tata tertib dan atau undang-undang. Siapa pun, agar loyal dan atau mau bekerja dengan baik, maka dibuatkanlah peraturan atau tata tertib. Dengan peraturan atau tata tertib itu, maka semua orang dituntut mengikuti kemauan pemimpinnya. Memang pada saat-saat tertentu, cara itu efektif. Akan tetapi, pada saat lainnya orang hanya menjalankan tugasnya secara formal dalam arti tidak sepenuh hati.
Berbeda dengan dua cara tersebut, adalah memimpin dengan hati. Ketika memimpin dengan hati, maka orang dibuat gembira, hatinya lapang, dibangun cita-cita atau harapan bahwa ada sesuatu yang lebih mulia yang ingin diraih secara bersama-sama. Cara inilah yang melahirkan keikhlasan. Dengan cara itu orang akan bekerja secara ikhlas, dalam arti tidak hanya dimotivasi oleh uang dan atau peraturan. Bekerja bersama-sama dengan pemimpin seperti ini tidak akan merasa terpaksa, tetapi justru sebaliknya, yaitu mendapatkan kegembiraan dan kepuasan.
Pendekatan terakhir inilah yang dimaksudkan sebagai memimpin dengan hati. Seorang disebut sebagai memimpin dengan hati, manakala kepemimpinannya dilakukan dengan tulus, ikhlas, dedikatif dan integritas yang tinggi terhadap organisasi atau lembaganya. Orang-orang yang dipimpinnya bukan dijadikan sebagai alat, tetapi diposisikan sebagai pihak-pihak yang terhormat dan dikembangkan agar bisa berkarya maksimal dan sebaik-baiknya.
Pemimpin ideal sebagaimana digambarkan terakhir ini, dalam menunaikan tugas-tugas kepemimpinannya bukan karena ingin mendapatkan imbalan, baik berupa uang atau lainnya tetapi untuk meraih cita-cita yang mulia. Selain itu, dalam hal mengawali dan menghadapi resiko, pemimpin selalu berada di depan, akan tetapi sebaliknya, tatkala berbagi imbalan atau keuntungan selalu menempatkan diri di belakang. Kepemimpinan seperti inilah yang melahirkan kebersamaan dan saling berbagi kasih sayang antara pemimpin dan mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin yang saya maksudkan ini tidak berlaku pada satu atau dua lembaga saja. Meainkan berlaku buat semua orang yang merasa menjadi seorang pemimpin. Mari kita bersama-sama mengoreksi diri kita, sudahkah kita menjadi seorang pemimpin yang gaya kepemimpinan kita menggunakan metode memimpin dengan hati?.
Gaya kepemimpinan seperti itu sudah dicontohkan oleh sosok seorang Jokowi yang selama ini menjadi pusat sorotan publik. Gaya kepemimpinan yang sederhana dan tegas bisa menarik hati masyarakatnya dari semua golongan. Sangat jelas terlihat gaya kepemimpinan dia, bahwa dia bertindak selalu menggunakan hati dan pikirannya. Mau mengerti dan mendengar keluh kesah rakyatnya. Memimpin dengan hati adalah solusi terselesaikannya upaya-upaya penanggulangan masalah yang ada dilapangan. Tentunya di ikuti aturan-aturan yang tegas yang tidak memberatkan kepada anggota atau anak buahnya.
*dikutip dari kompasiana.com
(mai)