Cut Nyak Mutia
Cut Meutia adalah perempuan yang menjadi Pahlawan Nasional
Indonesia asal Aceh. Cut Meutia turut mempertaruhkan nyawanya demi
mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sejak kecil, ia sudah dididik untuk memahami
soal agama dan ilmu berpedang. Semasa hidup, Cut Meutia dikenal sebagai ahli
pengatur strategi pertempuran. Taktiknya sering kali memporak-porandakan
pertahanan militer Belanda. Salah satu taktik yang pernah ia gunakan adalah
taktik serang dan mundur, serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik
pasukan lawan. Meski sempat dibujuk untuk menyerah, Cut Meutia tetap
memilih berperang.
Kehidupan
Cut Nyak Meutia atau Cut Meutia lahir di Aceh, 15 Februari
1870. Cut Meutia merupakan satu-satunya anak perempuan dari pasangan
Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Orang tuanya merupakan keturunan
Minangkabau asal Sijunjung, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan
pemimpin pemerintahan di daerah Pirak saat itu.
Semasa hidupnya, Cut Meutia sudah menikah sebanyak tiga
kali. Suami pertamanya adalah Teuku Syamsarif atau yang dikenal Teuku
Chik Bintara. Lalu, suami keduanya bernama Teuku Chik Muhammad. Bersama
dengan suami keduanya inilah Cut Meutia pertama kali turun ke medan perang
melawan Belanda.
Bersama suami keduanya, pada 1899, Chik Muhammad memimpin
serangan melawan Belanda. Awalnya, pasukan Belanda kebingungan harus berbuat
apa. Namun, dua tahun berikutnya, Chik Muhammad bersama pasukannya tidak lagi
bergerak. Belanda mengira mereka sudah kehilangan semangat untuk melakukan
perlawanan.
Namun, pada 1901, Chik Muhammad kembali melakukan serangan
mendadak dan berhasil menghancurkan pertahanan Belanda di sana. Atas
keberhasilannya ini, Teuku Chik Muhammad diangkat menjadi Bupati Keureutoe oleh
Sultan Aceh. Pada 1905, Chik Muhammad ditangkap oleh Belanda. Ia dimasukkan ke
dalam penjara dan ditembak mati oleh pasukan Belanda.
Setelah suami kedua meninggal, Cut Meutia menikah lagi dengan
Pang Nanggroe. Dengan suami ketiganya ini akhirnya mereka melanjutkan melawan
penjajahan Belanda. Ia bersama Pang Nanggroe bergabung dengan pasukan lainnya
di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Cut Meutia dan Pang Naggroe saling bahu
membahu melawan Belanda.
Perjuangan
Namun, pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausee,
satuan militer bentukan kolonial Hindia Belanda, di Paya Ciem, Cut Meutia
bersama para wanita lain melarikan diri ke hutan. Pang Nanggroe sendiri
melanjutkan perlawanan hingga tewas pada 26 September 1910. Mengetahui hal
tersebut, Cut Meutia bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa
pasukannya, yaitu 45 orang dan 13 senjata. Cut Meutia menyerang dan
merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melintasi hutan
belantara.
Akhir Hidup
Namun, pada 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukannya
ditemukan oleh pihak Belanda dari persembunyiannya di Paya Cicem. Awalnya
ia menolak untuk ditangkap sambil memegang rencong, senjata khas Aceh. Cut
Meutia gugur ketika pasukan Belanda menembaknya di kepala dan dada. Atas
jasa-jasanya, pada 19 Desember 2016, pemerintah Republik Indonesia
mengabdikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia,
Rp1.000. Ia juga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama Cut Meutia juga diabadikan di beberapa tempat.