Raden Mas Said
Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagoro I atau Raden Mas Said
dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1983. Oleh Pemerintah Republik
Indonesia diberikan penghargaan Bintang Mahaputra atas jasa-jasa
kepahlawanannya.
Raden Mas Said adalah putera
Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan. Beliau dilahirkan di
Kartasura tanggal 7 April 1725. Di Keraton Mataram, Raden Mas Said menjabat
sebagai Mantri Gandek. Namun, suasana politik tidak membuat beliau nyaman, Pakubuwana
II semakin terpengaruh oleh kompeni Belanda. Raden Mas Said kemudian
meninggalkan keraton dan tinggal bersama rakyat.
Raden Mas Said lalu menetap di
Dusun Nglaroh, Wonogiri. Beliau membentuk pasukan bersama pengikut setianya.
Pasukannya memakai nama yang berawalan Joyo, antara lain Joyowiguno, Joyoutomo,
Joyopraboto dan sebagainya dengan harapan dalam setiap peperangan akan
mendapatkan kejayaan ayau kemenangan. Selama berada di Nglaroh, Raden Mas Said
menggembleng pasukan dan rakyat Nglaroh dengan latihan perang gerilya.
Perjuangan Raden Mas Said
dilakukan selama periode tahun 1749-1757. Tahun 1741-1742, beliau memimpin
pasukan Tionghoa melawan Kompeni Belanda. Kemudian tahun 1743-1752 bergabung
dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Kompeni Belanda. Pada tahun 1752
terjadi perang besar di Kesatriyan Barat Daya Ponorogo. Kendati jumlah
pasukannya lebih kecil, tetapi dengan taktik yang jitu, tekad yang bulat,
katangguhan, ketangkasan dan keberanian para pasukannya, musuh dapat
dihancurkan. Di pihak musuh enam ratus prajurit tewas, sedangkan dipihak Raden
Mas Said tiga prajurit gugur dan dua puluh sembilan luka-luka. Melalui
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Belanda berhasil membelah bumi
Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian itu sangat
ditentang oleh Raden Mas Said karena memecah belah rakyat Mataram. Antara tahun
1755-1757 beliau bersama pasukannya terus berjuang melawan Pakubuwana III,
Hamengkubuwana I dan Kompeni.
Kehebatan strategi perang
Raden Mas Said bukan hanya dipuji pengikutnya tetapi juga disegani lawan.
Pujian datang dari Gubernur Baron van Hohendorff. Selain itu, pemimpin VOC di
Semarang, Nicolaas Hartingh juga memuji strategi perang Raden Mas Said. Ia
menjulukinya dengan Pangeran Sambernyawa. Itu karena di mata musuh-musuhnya,
beliau adalah penyebar kematian.
Selama berjuang melawan
Kompeni Belanda, Pangeran Sambernyawa menjalankan semacam taktik perang gerilya. Taktik perang itu
adalah dhedemitan, weweludhan, dan jejemblungan. Dhedhemitan berasal
dari akar kata dhemit yakni mahluk halus yang susah diraba, weweludan berasal dari akar kata welud artinya belut yang sangat licin untuk
ditangkap sedangkan jejemblungan berasal dari kata jemblung artinya orang gila tidak punya rasa
takut. Jadi, tidak menampakkan diri saat musuh terlihat kuat, menyerang ketika
musuh lengah dan cepat dalam menyembunyikan diri. Strategi perang ini terbukti
ampuh membuat pasukan VOC kocar-kacir.
Pangeran
Sambernyawa selalu lolos dari kepungan pasukan kompeni Belanda. Selain taktik
yang brilian, beliau juga menggunakan semboyan Tiji Tibeh untuk menyatukan dan
membakar semangat pasukannya. Tiji Tibeh merupakan akronim dari mati siji mati kabeh-mukti siji mukti kabeh, artinya
mati satu mati semua- makmur satu makmur semua. Semboyan ini dimaknai
sebagai konsep kebersamaan antara seorang pemimpin dengan rakyat.
Tak ada yang berhasil
menyentuh bahkan menangkap Raden Mas Said. Nicholas Hartingh mendesak
Pakubuwono III untuk membujuk Raden Mas Said ke meja perundingan. Akhirnya, terjadilah
perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.
Perjanjian Salatiga menandai
babak baru berdirinya Praja Mangkunegaran. KGPAA Mangkunagoro I
mengimplementasikan semboyan Tiji Tibeh melalui ajaran Tri Darma atau tiga
kewajiban dalam membangun budaya politik bernegara. Ajaran ini didasarkan pada
pengalaman panjang melakukan perjuangan. Tri Darma itu meliputi: melu handarbeni (merasa ikut memiliki), wajib melu hangrungkepi (merasa ikut
bertanggung jawab), mulat sarira hangrasa wani (berani mawas diri
dan memperjuangkan kebenaran). Tri Darma sejatinya mengandung nilai-nilai
patriotisme (rela berkorban demi bangsa dan negara), nasionalisme (rasa cinta
tanah air) dan heroisme (berani membela kebenaran).