DII/TII
Pemberontakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan pemberontakan ideologis yang
menginginkan perubahan dasar negara sebagai negara Islam. Gerakan ini dipimpin
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo pada tahun 1948-1949 di Jawa Barat yang
kemudian menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Selatan. Berikut adalah pembahasan pemberontakan DI/TII
di berbagai daerah :
1. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII
di Jawa Barat terjadi pasca disetujuinya Perjanjian Renville pada tanggal 17
Januari 1948. DI/TII merasa tidak puas dengan hasil dari perundingan Renville
dimana wilayah Jawa Barat tidak lagi menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Berdasarkan hasil dari Perjanjian Renville, Jawa Barat menjadi wilayah Belanda
dan diharuskan Divisi Siliwangi untuk mengosongkan Jawa Barat untuk berpindah
menuju Jawa Tengah.
Hal ini ditolak oleh
kelompok Sabilillah dan Hizbullah yang mengancam akan melucuti senjata bagi
mereka yang akan berpindah ke Jawa Tengah. Pada 10-11 Februari 1948,
Kartosuwirjo dan Oni melaksanakan Konferensi Umat Islam di wilayah Tasikmalaya
dengan hasil kesepakatan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Pada waktu
bersamaan juga dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai gerakan
perlawanan dari NII).
Pada tahun 1948, ketika
Ibu Kota Yogyakarta diserang oleh Belanda pada Agresi Militer Belanda II,
DI/TII mulai melakukan propaganda dan mengkomando perang suci untuk melawan
Belanda. TII diperintahkan untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia. Divisi
Siliwangi yang sebelumnya berpindah ke Jawa Tengah kembali ke Jawa Barat untuk
berperang diantara tiga pihak yakni TII, TNI dan Belanda.
Pada pertengahan tahun
1949 setelah disepakati Perjanjian Roem Royen, tercipta kekosongan pemerintahan
di beberapa daerah. Momen inilah yang kemudian dimanfaatkan DI/TII untuk
memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Upaya yang dilakukan republik
Indonesia yaitu salah satunya dengan cara konfrontasi fisik. Pada tanggal 8
Desember 1950, DI/TII resmi dianggap organisasi terlarang dan dilakukan berbagai
usaha penumpasan di Jawa Barat. Pada tahun 1950, Kodam VI Siliwangi melakukan
usaha intensif dengan strategi pagar betis. Operasi ini sukses menangkap
Kartosuwirjo yang kemudian dihukum mati.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di
Jawa Tengah terjadi akibat pengaruh DI/TII di Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII
di Jawa Tengah terjadi di wilayah Brebes, tegal dan Pekalongan dengan pemimpin
yang bernama Amir Fatah pada 23 Agustus 1949. Penumpasan dilakukan dengan
membentuk pasukan khusus bernama Banteng Raider yang akhirnya mampu menumpas
DI/TII di Jawa Tengah.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII
di Aceh dipimpin oleh ulama besar Aceh bernama Tengku Muhammad Daud Beureueh.
Pemberontakan dilatar belakangi oleh penurunan status Aceh menjadi karesidenan
serta keinginan pusat untuk menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara pada tahun
1950. Sebagai reaksi dari tindakan tersebut, Daud Beureueh menyatakan Aceh
bagian dari DI/TII pada 21 September 1953.
Untuk menumpas
pemberontakan DI/TII di Aceh, pemerintah melakukan operasi militer dan
perundingan. Hingga pada tahun 1962, tercapai kesepakatan antara RI dan Aceh
sehingga wilayah Aceh menjadi provinsi tersendiri dan sebagai daerah istimewa.
4. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII
Sulawesi Selatan dipelopori oleh Kahar Muzakar dengan nama Komando Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS). Konflik terjadi ketika Kahar Muzakar menginginkan KGSS
untuk bergabung dengan Angkatan perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) namun
ditolak oleh pemerintah pusat.
Akibat penolakan ini
KGSS melakukan kekacauan di berbagai tempat. Pada tahun 1952, Kahar Muzakar
menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Dari hal tersebut
kemudian Indonesia melakukan operasi militer ke Sulawes Selatan. Hingga pada
akhir bulan Februarai 1965, Kahar Muzakar berhasil ditembak dan mengakhiri
pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
5. Pemberontakan Di/TII di Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII
di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar dengan kelompoknya bernama
Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT). Pemberontakan dilatarbelakangi oleh
ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat dan pernyataan Kalimantan Selatan
yang mendeklarasikan Kalimantan Selatan bagian dari Negara Islam Indonesia.
Upaya memadamkan pemberontakan di Kalimantan Selatan adalah melalui jalur damai
namun gagal terjadi. Akhirnya jalur operasi militer dilakukan dengan menangkap
Ibnu Hajar pada 1963 dan menjatuhkan hukuman mati.